Kamis, Januari 21

KETENTUAN, APLIKASI, DAN PERMASALAHAN KEPALA SEKOLAH DALAM PELAKSANAAN BIMBINGAN DAN KONSELING

 Oleh: Jumadi  Tuasikal

A. Ketentuan Tentang Kepala Sekolah
Ø  <COMP NAMEPeraturan Pemerintah Republik Indonesia</COMP> Nomor <COMP NAME=nomor> 29 Tahun 1990</COMP> Tentang Pendidikan Menengah</COMP> (Pasal 12 Dan Pasal 14)
Ø  Standar Prestasi Kerja Guru menurut petunjuk pelaksanaan Keputusan Mendikbud dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara No 0433 P/1993, No 25 tahun 1993 Bab III pasal IV, ayat 7 menyatakan: Guru pembimbing yang menjadi Kepala Sekolah wajib melaksanakan bimbingan dan konseling terhadap 40 orang peserta didik.
Ø  <COMP NAMPeraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2007 Tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah
Ø  Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia  Nomor 19 Tahun 2007  Tentang  Standar Pengelolaan Pendidikan Oleh Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah
Ø  Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru
Ø  Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 Tahun 2009 tentang Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan,
Ø  Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 6 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah
Ø  Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
Ø  Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah/Madrasah,
B. Konsep Kepala Sekolah
Kepala sekolah terdiri dari dua kata, yaitu kepala dan sekolah. Kata kepala dapat di artikan ketua atau pemimpin dalam suatu organisasi atau sebuah lembaga. Sedangkan sekolah adalah sebuah lembaga di mana menjadi tempat menerima dan memberi pelajaran. Dengan demikian secara sederhana kepala sekolah dapat didefinisikan “ sebagai seorang tenaga fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu sekolah dimana diselenggarakan proses belajar mengajar, atau tempat di mana terjadi interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang menerima pelajaran”.
Dari uraian di atas, maka upaya kepala sekolah dapat diartikan bahwa seorang pemimpin yang mempunyai usaha dalam pendidikan dan pengajaran yang banyak dibebani dengan kewajiban-kewajiban yang beraneka ragam untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
 Seorang Kepala Sekolah hendaknya memiliki kepribadian yang baik sesuai dengan kepemimpinan yang akan dipegangnya. Ia hendaknya memiliki sifat-sifat jujur, adil dan dapat dipercaya, suka menolong dan membantu guru dalam menjalankan tugas dan mengatasi kesulitan-kesulitan, bersifat supel dan ramah mempunyai sifat tegas dan konsekuen. Maka syarat seorang Kepala Sekolah menurut M. Dariyanto dalam bukunya Administrasi Pendidikan adalah sebagai berikut:
1)      Memiliki ijazah yang sesuai dengan ketentuan atau peraturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.
2)      Mempunyai pengalaman kerja yang cukup, terutama di sekolah yang sejenis dengan sekolah yang dipimpinnya.
3)      Mempunyai sifat kepribadian yang baik, terutama sikap dan sifat-sifat kepribadian yang diperlukan bagi kepentingan pendidikan.
4)      Mempunyai keahlian dan pengetahuan yang luas, terutama mengenai bidang-bidang pengetahuan pekerjaan yang diperlukan bagi sekolah yang dipimpinnya.
5)      Mempunyai ide dan inisiatif yang baik untuk kemajuan dan pengembangan sekolahnya.
Kepala Sekolah profesional tidak saja dituntut untuk melaksanakan berbagai tugas disekolah, tetapi ia juga harus mampu menjalin hubungan atau kerja sama dengan masyarakat dalam rangka membina pribadi peserta didik secara optimal.
C. Tugas Pokok dan Tanggung Jawab Kepala Sekolah
            Sekolah sebagai suatu tempat proses belajar mengajar yang baik sekurang-kurangnya memiliki murid, guru dan gedung. dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah harus ada pimpinan. pimpinan ini disebut kepala sekolah dibantu oleh wakil atau guru yang ada. kepala sekolah sebagai “EMASLIN” mempunyai tugas sebagai berikut:
  1. Edukator (E)
    1. Mampu membimbing guru
    2. Mampu membimbing karyawan
    3. Mampu membimbing siswa
    4. Mampu mengembangkan staf
    5. Mampu belajar mengikuti perkembangan iptek
    6. Mampu memberikan contoh mengajar yang baik
  2. Manajer (M)
    1. Kemampuan menyusun program sekolah
    2. Kemampuan menyusun organisasi kepegawaian di sekolah
    3. Kemampuan menggerakkan sraf (guru dn karyawan)
    4. Kemampuan mengoptimalkan sumber daya sekolah
  3. Administrasi (A)
    1. Kemampuan mengelola administrasi sekolah (KBM/BK)
    2. Kemampuan mengelola administrasi kesiswaan
    3. Kemampuan mengelola administrasi ketenagaan
    4. Kemampuan mengelola adminisrasi keuangan
    5. Kemampuan mengelola administrasi sarana/prasarana
    6. Kemampuan mengelola administrasi
  4. Supervisi (S)
    1. Kemampuan menyusun program supervisi pendidikan
    2. Kemampuan melaksanakan suprvisi pendidikan
    3. Kemampuan memanfaatkan hasil supervisi
  5. Leader (L) atau pemimpin
    1. Memiliki kepribadian yang kuat
    2. Memahami kondisi guru, karyawan, siswa
    3. Memliki visi dan memahami misi sekolah
    4. Mampu mengambil keputusan
    5. Kemampuan berkomunikasi
  6. Inovator (I)
    1. Kemampuan mencari/menemukan gagasan baru untuk pembaharuan sekolah (pendidikan)
    2. Kemampuan melakukan pembaharuan di sekolah
  7. Motivator (M)
    1. Kemampuan mengatur lingkungan kerja (fisik)
    2. Kemampuan mengatur lingkungan kerja non fisik
    3. Kemampuan menetapkan prinsip penghargaan/hukuman
D. Aplikasi Ketentuan Tentang Kepala Sekolah                                                               Keberhasilan implementasi MBS dipengaruhi oleh berbagai faktor, satu diantaranya yang sangat menentukan adalah kepala sekolah. Kepala sekolah merupakan penggerak utama dalam semua kegiatan di sekolah. Menurut Wahjosumidjo kepala sekolah merupakan seorang tenaga fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu sekolah, sehingga semua pelaksanaan kegiatan sekolah menjadi tanggung jawabnya. Dalam Buku Kerja Kepala Sekolah, dinyatakan bahwa kepala sekolah dituntut untuk mampu merencanakan program, melaksanakan rencana kerja, melaksanakan supervisi dan evaluasi, menjalankan kepemimpinan sekolah, serta menerapkan sistem informasi sekolah.                              Implementasi MBS yang menekankan akuntabilitas menjadikan tugas kepala sekolah semakin kompleks dan beragam. E. Mulyasa mengidentifikasi sedikitnya tujuh peran kepala sekolah untuk keberhasilan MBS yaitu sebagai edukator, manajer, administrator, supervisor, leader/pemimpin, inovator, dan motivator, dan Jennifer menemukan paling tidak terdapat 40 jenis pekerjaan kepala sekolah setiap harinya. Mendukung pendapat ini, Thomas mengatakan bahwa dahulu kepala sekolah lebih berperan sebagai administrator, yaitu melakukan proses administrasi seperti perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan pengawasan, namun di era yang semakin modern sekarang ini, kepala sekolah juga berperan sebagai pendidik yang dituntut untuk lebih fokus meningkatkan mutu peserta didik dan sekolah, juga menekankan pada peranannya sebagai pemimpin yakni mendefinisikan visi-misi, dan tujuan sekolah yang mampu memenuhi tuntutan atau kebutuhan masyarakat, serta mengembangkan strategi–strategi yang tepat untuk mencapai visi dan tujuan sekolah tersebut.                               Kepala sekolah yang efektif adalah kepala sekolah yang mampu memberdayakan dan mengembangkan potensi bawahan, mampu menyelesaikan tugas dan pekerjaan sesuai dengan tepat waktu, mampu melakukan hubungan yang harmonis dengan masyarakat khususnya masyarakat sekolah). Pendapat yang sama dikemukakan oleh Jennifer, bahwa kepala sekolah yang efektif adalah kepala sekolah yang mampu bekerja sama dengan bawahannya, konsisten dalam mencapai visi dan tujuan sekolah, memiliki banyak pengalaman dalam memimpin, serta mampu mengalokasikan waktu dalam pelaksanaan tugasnya. Deskripsi di atas menunjukkan bahwa implementasi MBS berdampak pada peningkatan peran, kompleksitas tugas, dan pekerjaan kepala sekolah.                                                                                                             Dengan jumlah tugas yang semakin banyak, kepala sekolah membutuhkan waktu yang mencukupi agar pelaksanaan tugasnya dapat dilakukan secara efektif, namun pada kenyataannya waktu yang dimiliki oleh kepala sekolah tidak sebanding dengan jumlah tugas yang harus dilaksanakannya.                                                                                                                 Kepala sekolah hanya memiliki jam kerja 24 jam per minggu, 6 jam diantaranya digunakan untuk melaksanakan tugas mengajar, sehingga waktu yang efektif untuk melaksanakan tugasnya sebagai kepala sekolah hanya 18 jam per minggu. Ketidakseimbangan antara jumlah tugas dengan ketersediaan waktu tersebut membuat kepala sekolah hanya memfokuskan pada pelaksanaan tugas tertentu saja, sedangkan tugas yang lainnya diabaikan . Pada era otonomi ini kepala sekolah dituntut untuk meningkatkan  prestasi siswa, hal tersebut dilihat dari penetapan standar kelulusan oleh pemerintah, sehingga kepala sekolah harus memfokuskan dirinya pada peranannya sebagai pendidik dengan melakukan pembinaan kepada siswa agar mampu mencapai standar yang ditetapkan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh kepala sekolah dalam meningkatkan prestasi siswa adalah dengan meningkatkan kualitas guru. Pembinaan kepada guru atau yang disebut dengan supervisi harus dilakukan kepala sekolah untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang efektif, dengan kualitas pembelajaran yang meningkat maka akan berdampak pada peningkatan prestasi siswa.                                                                                                                                                     Dengan demikian, tuntutan peningkatan prestasi siswa secara tidak langsung akan berdampak pada tuntutan kepala sekolah untuk melaksanakan peranannya sebagai supervisor. Lebih lanjut dikemukakan oleh Tammy, bahwa selain tuntutan peningkatan prestasi siswa, di era otonomi ini kepala sekolah juga dituntut untuk melaksanakan kegiatan manajerial di sekolah yakni mendayagunakan sumber daya yang ada di sekolah guna mencapai tujuan sekolah, termasuk pendayagunaan keuangan. Dengan begitu peran kepala sekolah sebagai manajer juga tidak dapat diabaikan, namun disisi lain era otonomi yang menuntut adanya akuntabilitas juga mengharuskan kepala sekolah untuk menjalankan tugas keadministrasiannya.                                                                                                                                  Dengan demikian semakin jelas bahwa tugas kepala sekolah sangat berat dan kompleks, serta membutuhkan banyak keterampilan dalam melaksanakannya. Keberhasilan kepala sekolah dalam melaksanakan tugas-tugasnya dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor partisipasi masyarakat sekolah dan dukungan dari berbagai pihak. Keterlibatan guru dan masyarakat dalam meningkatkan mutu pendidikan di lingkup sekolah akan sangat membantu meringankan tugas kepala sekolah, namun pada kenyataannya kualitas guru masih rendah sehingga belum tentu mampu melaksanakan tugas yang dilimpahkan oleh kepala sekolah.                                                                                                                         Selain itu partisipasi masyarakat terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah juga masih kurang, hal ini lah yang membuat kepala sekolah harus melaksanakan tugas-tugasnya secara mandiri.        
E. Masalah dan Solusi
            Masalah tugas pokok kepala sekolah sebagai “emaslin” yang dihadapi dewasa ini antara lain:
  1. Kurangnya informasi, kesiapan dan kompetensi sebagai kepala sekolah yang cakap dan terampil (khususnya bagi kepala sekolah pemula). faktor ini yang sering membuat kurang percaya diri dalam melaksanakan tugas sebagai pimpinan. upaya pemecahan yang dapat dilakukan melalui seleksi berjenang dengan berdasarkan kriteria dan kualifikasi yang sesuai dengan ketentuan yang ada (standar pendidik dan kependidikan), seperti; minimal mengajar 5 tahun di jenjang pendidikan, lulus tes seleksi (wawancara dan psikotes).
  2. Lemahnya manajemen dan supervisi sekolah yang dimiliki oleh kepala sekolah terutama dalam menyusun, melaksanakan dan mengevaluasi program kerja sekolah. upaya pemecahan yang dapat dilakukan melalui pembinaan, pelatihan dan tutor sebaya sebagai kepala sekolah dalam menangani persoalam pengelolaan sekolah yang muncul.
  3. Pengetahuan administrasi sekolah yang dikuasai oleh kepala sekolah masih kurang. oleh karena itu perlu didukung oleh tim kerja administrasi yang handal (terampil). upaya pemecahan yang dapat dilakukan dengan mengadakan sharring ataupun studi banding dengan pihak sekolah lain yang tertib dalam administrasi sekolah, mengikut sertakan guru dan tata usaha untuk mengikuti pelatihan adminitrasi sekolah.
  4. Kurang optimalnya proses belajar di sekolah, hal ini tampak dari hasil belajar yang belum mencapai ketuntasan, tidak bervariasinya penggunaan alat peraga yang ada, pengelolaan kelas dan pendampingan siswa yang bermasalah yang belum tertata dan terkelola dengan baik. upaya yang dapat dilakukan melalui supervisi dan monitoring secara rutin, pendampingan ataupun pembinaan guru secara individual dan klasikal perlu dijadwalkan serta dilaksanakan dengan semangat perubahan dalam pencapaian prestasi belajar siswa.
  5. Kurangnya pengkajian atau analisa terhadap hasil evaluasi dan proses belajar mengajar di sekolah (data hasil evaluasi belajar dan mengajar belum dikaji dan ditindak lanjuti untuk pengembangan sistem pengembangan mutu). upaya yang dapat dilakukan melalui kerja sama dengan yayasan bunda hati kudus (biro pendidikan atau perencanaan dan penelitian pendidikan) untuk mengadakan pelatihan analisa hasil evaluasi belajar siswa setiap ulangan harian atau semester, peningkatan sistem pengolahan data melalui komputerisasi, pengadaan papan statistik sekolah, rapat pengolahan data, analisa dan pengkajian, rekomendasi hasil analisis dan kajian data.
  6. Kurang optimalnya kegiatan ekstrakurikuler (minimnya tenaga pengajar serta alokasi pengunaan ruang secara full time). upaya yang dapat dilakukan dengan merencanakan program ekstrakurikuler yang benar-benar berdampak pada posisi sekolah atau jenjang pendidikan mendasarkan pada anggaran yang ada, mendatangkan pengajar yang sesuai dan bersertifikat.melalui kerja sama dengan pihak lain.
  7. Kurang optimalnya peran serta masyarakat (rendahnya tingkat pemahaman masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi kemajuan anaknya). upaya yang dapat dilakukan bekerja sama dengan pihak orang tua siswa melalui komite sekolah untuk bersama membangun kesepahaman dalam rangka meningkatkan prestasi pendidikan siswa melalui pertemuan atau pelaksanaan rapat kerja dengan komite sekolah, sosialisasi program sekolah, pelaksanaan program sekolah dan evaluasi secara berkala serta melaksanakan kemitraan dengan pihak lembaga lain dalam rangka meningkatkan program pembelajaran dan kegiatan siswa yang berkualitas untuk menjawab tuntutan kurikulum dan tantangan global yaitu terciptanya pembelajar yang mempunyai kemampuan iptek dan bermartabat.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2008. Peran Kepala Sekolah dan Pengawas dalam Pembinaan Profesional. Diklat Jakarta

<COMP NAME=bentuk>Peraturan Pemerintah Republik Indonesia</COMP> Nomor <COMP NAME=nomor>29 Tahun 1990</COMP> Tentang <COMP NAME=tentang>Pendidikan Menengah
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2007 Tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2007 Tentang  Standar Pengelolaan Pendidikan Oleh Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah
Soewadji Lazaruth. 2000. Kepala Sekolah dan Tanggung Jawabnya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Wahjosumidjo. 1999. Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Rabu, Januari 20

AKUNTABILITAS DAN PENGAWASAN DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING



Oleh: Jumadi Tuasikal

A.    KONSEP AKUNTABILITAS  DAN  PENGAWASAN
1.      Konsep Akuntabilitas
       Akuntabilitas berasal dari bahasa inggris “ Accountability “ artinya keadaan untuk dipertanggungjawabkan. Menurut prayitno Akuntabilitas disebut juga unjuk kerja, kemudian Gibson & Mitchell mendefenisikan “akuntabilitas sebagai pertanggungjawaban untuk sesuatu kepada seseorang dengan konsekwensi yang dapat diramalkan demi kinerja yang dikehendaki dan dapat dipahami dari apa yang dipertanggung jawabkan itu”.
       Konsep dasar akuntabilitas didasarkan pada klasifikasi responsibilitas menejerial pada tiap tingkatan dalam suatu organisasi, yang bertujuan untuk pelaksanaan kegiatan pada tiap bagian. Tiap unit pada suatu organisasi, walaupun yang kecil sekalipun bertanggungjawab atas setiap kegiatan yang di laksanakan pada bagiannya. Mereka mempunyai beban tugas kegiatan tertentu dan perlu mempertanggung jawabkan kepada pemberi tugas kegiatan tersebut. Akuntabilitas tidak sama dengan responsibilitas. Akuntabilitas lebih mengacu pada pertanggungjawaban keberhasilan atau kegagalan pencapaian organisasi sedangkan berhubungan kewajiban melaksanakan wewenang atau amanah yang diterima. Akuntabilitas mempertanggungjawabkan pelaksanaan wewenang atau amanah tersebut.
       Bila dikaitkan dengan profesi BK, maka akuntabilitas BK dapat diartikan sebagai suatu perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi BK dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, akuntabilitas BK harus disampaikan dihadapan pemberi wewenang tugas/amanah tentang keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan program, manajemen, kekurangan dan administrtif dalam jangka waktu tertentu.
       Akuntabilitas dalam bimbingan dan konseling adalah perwujudan kewajiban konselor/guru BK/guru pembimbing atau unit organisasi (bimbingan dan konseling) untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban berupa laporan akuntabilitas kinerja secara periodik.  Dalam hal ini konselor/guru BK/guru pembimbing berkewajiban untuk menjawab dan menjelaskan kinerja dari tindakannya atau badan yang membawahinya kepada pihak-pihak yang memiliki hak untuk meminta jawaban atas kewenangan yang telah diberikan untuk mengelola sumber daya tertentu.
       Sumber daya yang dimaksud di atas adalah terfokus kepada prestasi akademik, perkembangan pribadi/sosial, dan karir klien. Prinsip ini mengandung arti bahwa rumusan perilaku yang hendak dicapai, sistem intervensi psikoedukatif dan assessment merupakan komponen yang terkait dalam akuntabilitas bimbingan dan konseling (Sunaryo Kartadinata, 2004).
2.      Konsep Pengawasan
Pengawasan dapat diartikan sebagai proses kegiatan monitoring untuk meyakinkan bahwa semua kegiatan organisasi terlaksana seperti yang direncanakan dan sekaligus juga merupakan kegiatan untuk mengoreksi dan memperbaiki bila ditemukan adanya penyimpangan yang akan mengganggu pencapaian tujuan.
Kegiatan pengawasan adalah kegiatan Pengawas Satuan Pendidikan dalam melaksanakan penyusunan program pengawasan satuan pendidikan, pelaksanaan pembinaan akademik dan administrasi, pemantauan delapan standar nasional pendidikan, penilaian administrasi dan akademik, dan pelaporan pelaksanaan program pengawasan (Depdiknas, 2009: 70).

B.     STAKEHOLDERS BIMBINGAN DAN KONSELING
     Istilah stakeholders sudah sangat populer. Kata ini telah dipakai oleh banyak pihak dan hubungannnya dengan berbagi ilmu atau konteks, misalnya manajemen bisnis, ilmu komunikasi, pengelolaan sumberdaya alam, sosiologi, dan lain-lain. Lembaga-lembaga publik telah menggunakan secara luas istilah stakeholder ini ke dalam proses-proses pengambilan dan implementasi keputusan. Secara sederhana, stakeholder sering dinyatakan sebagai para pihak, lintas pelaku, atau pihak-pihak yang terkait dengan suatu isu atau suatu rencana.
Dari pengertian tersebut dapatlah dipahami bahwa dalam konteks dunia pendidikan dan lebih khusus lagi bimbingan dan konseling stakeholders yang dimaksud adalah :
1.      Siswa
2.      Orangtua
3.      Kepala Sekolah
4.      Guru
5.      Konselor
6.      Personil Sekolah
7.      Pemerintah
8.      Masyarakat.
      Keseluruhan komponen stakeholders di ataslah yang secara langsung terlibat dan terkait dalam rangka penyelenggaraan program bimbingan dan konseling. Masing-masing komponen tersebut memiliki tugas pokok dan fungsi yang berbeda-beda yang kesemuannya menjadi satu kesatuan yang utuh.

C.     SYARAT AKUNTABILITAS DAN PENGAWASAN
       Menurut A.Yusuf (2002), manajemen dalam suatu organisasi akan dikatakan akuntabel apabila kegiatan pelaksanaanya telah:
1.      Menentukan tujuan yang tepat
2.      Mengembangkan standar yang dibutuhkan untuk pencapai tujuan tersebut
3.      Cara efektif mempromosikan penerapan pemakaian standar
4.      Mengembangkan standar organisasi dan operasi secara efektif, ekonomis dan efisien.
     Untuk menjamin terciptanya akuntabilitas dan pengawasan yang baik, maka dalam akuntabilitas itu sendiri wajib memiliki:
1.    Kemampuan menjawab yaitu (istilah yang bermula dari responsibilitas) adalah berhubungan dengan tuntutan bagi para konselor/guru BK/guru pembimbing untuk menjawab secara periodik setiap pertanyaan-pertanyaan.
2.    Konsekuensi yaitu public/klien mempunyai hak untuk mengetahui kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pihak yang mereka (klien) beri kepercayaan (konselor) tentang program pelayanan, metode assessment, penilaian, penggunaan data (using data) dan tindak lanjut layanan yang telah diberikan kepadanya. Kedua hal tersebut di atas adalah ide pokok dalam membangun public trust.

D.    BENTUK AKUNTABILITAS
Akuntabilitas dibedakan menjadi beberapa tipe/bentuk, diantaranya jenis akuntabilitas dikategorikan menjadi dua bentuk yaitu :
a)      Akuntabilitas Internal
Berlaku bagi setiap tingkatan organisasi/kelembagaan/satuan pendidikan internal penyelenggaraan pemerintahan negara termasuk pemerintah itu sendiri dimana setiap pemegang mandat (dalam hal ini termasuk konselor/guru BK/guru pembimbing) baik individu maupun kelompok secara hierarki berkewajiban untuk mempertang-gungjawabkan kepada atasannya langsung mengenai perkembangan kinerja kegiatannya secara periodik maupun sewaktu-waktu bila dipandang perlu.
b)      Akuntabilitas Eksternal.
Melekat pada setiap lembaga negara sebagai suatu organisasi/kelembagaan  untuk mempertanggungjawabkan semua amanat yang telah diterima dan dilaksanakan ataupun perkembangannya untuk dikomunikasikan kepada pihak eksternal lingkungannya. Dalam hal pengkomunikasian dan pengungkapan laporan pelayanan maka jenis pengungkapan yang cukup (adequate) adalah yang paling umum digunakan, tetapi ini mengandung suatu pengertian adanya keterbatasan dalam penyajian informasi karena menurut prinsip adequate disclosure ini, informasi bisa disajikan seminimum mungkin asal cukup sehingga asas kerahasiaan klien tetap terjaga dengan baik.
c)      Akuntabilitas Spiritual
Akuntabilitas yang demikian ini meliputi pertanggungjawaban diri sendiri mengenai segala sesuatu yang dijalankannya yang hanya diketahui dan dipahami oleh dia sendiri.Oleh karena itu, akuntabilitas ini disebut juga sebagai akuntabilitas spiritual. Semua tindakan akuntabilitas spiritual didasarkan pada hubungan seseorang tersebut dengan Tuhan. Namun, apabila benar-benar dilaksanakan dengan penuh iman dan takwa, kesadaran akan akuntabilitas spiritual ini akan memberikan pengaruh yang sangat besar pada pencapaian kinerja orang tersebut. Itulah sebabnya mengapa seseorang dapat melaksanakan pekerjaan dengan hasil yang berbeda dengan orang lain, atau mengapa suatu instansi dengan instansi yang lainnya dapat menghasilkan kuantitas dan kualitas yang berbeda terhadap suatu pekerjaan yang sama.

E.     KRITERIA AKUNTABILITAS
Kriteria adalah ukuran yang menjadi dasar penilaian atau penetapan sesuatu. Krumboltz, 1974 (dalam Gibson & Mitchell, 1981) mengidentifikasi tujuh kriteria yang harus dipenuhi jika sistem akuntabilitas adalah untuk mencapai hasil yang diinginkan. Hal tersebut adalah sebagai berikut:
a.         Dalam rangka untuk menentukan domain tanggung jawab konselor, tujuan umum konseling harus disetujui oleh semua pihak.
b.         Prestasi konselor harus dinyatakan dalam hal penting yaitu perubahan perilaku yang diamati dan dirasakan oleh klien.
c.         Kegiatan konselor harus dinyatakan sebagai biaya, bukan prestasi.
d.        Sistem akuntabilitas harus dibangun untuk mempromosikan pelayanan yang efektif profesional dan pengembangan diri, bukan untuk melemparkan dan menyalahkan atau menghukum kinerja yang buruk.
e.         Dalam rangka mempromosikan pelaporan yang akurat, laporan kegagalan dan hasil yang tidak diketahui harus diizinkan dan tidak pernah dihukum.
f.          Semua pengguna dari sistem akuntabilitas harus terwakili dalam perancangan.
g.         Sistemakuntabilitas itu sendiri harus dilakukan evaluasi dan modifikasi.
Pemerintah menyusun alat ukur untuk mengukur kinerja pelayanan publik secara eksternal melalui Keputusan Menpan No. 25/KEP/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah, yang di dalamnya terdapat 14 indikator kriteria pengukuran kinerja organisasi/kelembagaan sebagai berikut:
1.      Prosedur pelayanan, yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan.
2.      Persyaratan pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya.
3.      Kejelasan petugas pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang memberikan pelayanan (nama, jabatan serta kewenangan dan tanggungjawabnya).
4.      Kedisiplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan pelayanan, terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang berlaku.
5.      Tanggung jawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan tanggung jawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan.
6.      Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan ketrampilan yang dimiliki petugas dalam memberikan/menyelesaikan pelayanan kepadamasyarakat.
7.      Kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan.
8.      Keadilan mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak membedakan golongan/status masyarakat yang dilayani.
9.      Kesopanan dan keramahan petugas, yaitu sikap dan perilaku petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling menghargai dan menghormati.
10.  Kewajaran biaya pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan.
11.  Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan.
12.  Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
13.  Kenyamanan lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang bersih, rapi, dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman kepada penerima pelayanan.
14.  Keamanan pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan sehingga masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap resiko-resiko yang diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan.
Keempat belas indikator di atas menurut penyusun sangat cocok dan memiliki relevansi dalam pelayanan bimbingan dan konseling setting apapun.

F.      FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT PELAKSANAAN BIMBINGAN DAN KONSELING
1.      Faktor Pendukung.
Kepemimpinan yang memberi teladan, Mendiskusikan program-program yang akan dilaksanakan dengan benar dan tuntas. Sehinggadapat ditentukan dengan jelas apa tujuan yang akan dicapai dan apa pula indikator kinerjanya.
a)    Ciptakan koordinasi yang baik inter dan antar unit terkait.
b)   Rumuskan standar kerja yang jelas.
c)    Komunikasikan pada semua pihak tujuan dan makna akuntabilitas.
2.      Faktor Penghambat
            Kegagalan implementasi akuntabilitas banyak ditentukan oleh :
a)     Rendahnya kesadaran tentang akuntabilitas.
b)    Kurangnya kemauan untuk menerapkan akuntabilitas.
c)     Penurunan nilai-nilai normal.
d)    Faktor budaya.
e)     Rendahnya kualitas petugas/pejabat.
f)    Krisis lingkungan.
g)   Kelemahan hukum tentang akuntabilitas.
h)   Usangnya teknologi. Rendahnya standar hidup masyarakat
                        Lebih jauh lagi dalam implementasinya apa yang menjadi konsep dan dituangkan dalam sebuah program tidak mudah dalam menjalanknnya banyak sekali faktor-faktor yag patut kita pertimbangkan dan apabila kita lupakan justru inilah yang menjadi faktor penghambat pelaksanaan program bimbingan konseling. Diantara faktor-faktor yang cukup banyak itu, pemakalah mencoba mengidentifikasinya sehingga menjadi beberapa poin  yang sangat mendasar, antara lain:
a)      Kurangnya kerjasama antar personil pelaksana program dalam hal ini konselor, pimpinan, instasi penyelenggara dan pemerintah.
b)      Kurangnya pemahaman dan pengetahuan pendidik dan tenaga kependidikan serta yang paling utama adalah konselor terhadap ketentuan atau perundang-undangan yang secara spesifik mengatur pelaksanaan program.
c)      Tidak adanya konsistensi dalam menjalankan program yang telah ditetapkan dari para personil pelaksana program dan pengawas.
                  Ketiga poin diatas inilah yang sebenarnya menjadi penghambat dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah yang muaranya tidak tercapainya unjuk kerja yang efektif dan efisien.
G.    IMPLIKASI PELAKSANAAN AKUNTABILITAS DAN PENGAWASAN
Pelaksanaan akuntabilitas dan pengawasan yang baik akan menciptakan implikasi yang positif berkenaan dengan konselor (sebagai orang yang menjadi penyelenggara layanan) dan kelembagaan (tempat konselor bekerja). Hal itu tercermin dalam penatalaksanaan organisasi dan manajemen yang lebih sehat dan kompetitif.
Akuntabilitas berarti bahwa konselor sekolah dapat mempertangg-ungjawabkan dokumen pekerjaan yang dilakukannya bagi para mitra dalam proses pendidikan siswa, orang tua dan pengasuh, rekan-rekan di sekolah, dan rekan di masyarakat. konselor sekolah tidak dipilih dalam panggilan untuk data-driven pelaporan diri, melainkan adalah kesempatan bagi konselor sekolah untuk memberikan  bukti nyata dari kualitas mereka bekerja (Dollarhide & Sadinak, 2008).
Krumboltz (1974) juga mencatat bahwa kemampuan melakukan akuntabilitas menjamin upaya konselor untuk membangun sistem akuntabilitas yang memiliki kontribusi untuk diri mereka sendiri. Sebuah sistem akuntabilitas akan memungkinkan konselor untuk:
a.       Mendapatkan umpan balik tentang hasil kerja mereka.
b.      Metode konseling dapat dipilih berdasarkan keberhasilan yang telah ditunjukkan.
c.       Melakukan identifikasi klien yang selama ini kebutuhannya belum terpenuhi.
d.      Merancang metode yang singkat untuk operasional kegiatan rutin.
e.       Melakukan tukar pendapat dengan staf untuk meningkatkan pencapaian tujuan dan mencari solusi terhadap masalah-masalah yang berkembang (Gibson & Mitchell, 1981).

                Lebih lanjut Gibson & Mitchell, 1981, mengungkapkan bahwa dengan melaksanakan akuntabilitas, konselor belajar bagaimana untuk membantu klien lebih efektif dan efisien, konselor akan mendapatkan:
a.       Banyak masalah yang penyelesaiannya dilakukan berdasarkan kecakapan/kompetensi yang mendorong adanya pengakuan dari penerima layanan;
b.      Meningkatnya dukungan keuangan;
c.       Lebih baik dalam hubungan kerja dengan profesional lainnya;
d.      Diakui berdiri professional;
e.       Tingkat kepuasan terhadap layanan terus-menerus dilakukan yang diarahkan kepada sasaran perbaikan (baik program maupun implementasinya) dan adanya penghargaan yang lebih mantap.


H.    MASALAH DAN SOLUSI
1.   Masalah
a)         Masih ada kekurangan perencanaan waktu untuk melakukan assessment,    yang telah diprogramkan.
b)         Kurangnyanya partisipasi konselor dalam membuat laopran dan       penilaian serta mencari data untuk pengembangan perencanaan   assessment
2. Solusi
        Konselor harus cepat sigap dalam melakukan assessment dan mengatur jadwal sesuai dengan program yang telah dibuat, sehingga laporan dan penilaian dapat terlaksana sesuai dengan program yang ada dan dapat berkembang sesuai kebutuhannya.


DAFTAR RUJUKAN
A. Muri Yusuf. (2002). Seminar Sehari Akuntabilitas Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Padang: Jurusan BK, FIP. UNP
Depdiknas. 2009. Bahan Belajar Mandiri Kelompok Kerja Pengawas Sekolah Dimensi     Kompetensi Supervisi Manajerial. Dirjen PMPTK: Jakarta.

Dollarhide, Collete T., Sadinak, Kelli A. 2008. Comprehensive School Counseling Programs: K-12 Delivery System. New York: Pearson

Gibson, Robert L & Mitchell, Marianne H. 1981.Introduction to Counseling and Guidance. Second Edition. New York: Mc Millan Publishing.

Kartadinata, Sunaryo. 2004. Arah dan Tantangan Bimbingan dan Konseling Profesional: Proposisi Historik-Futuristik. Bandung: UPI

TEORI PERKEMBANGAN KARIR: KRUMBOLTZ SERTA APLIKASINYA

Jumadi Mori Salam Tuasikal, M.Pd A.    Konsep Dasar             Jika kita bicara mengenai bimbingan karir melalui pendekatan pemilihan...