Oleh: Jumadi Tuasikal
A. Konsep Dasar
dan Sejarah Konseling Ego
Erik Erikson adalah seorang
psikolog perkembangan Denmark-Jerman-Amerika dan psikoanalis terkenal karena
teorinya tentang pembangunan sosial manusia. Perkembangan identitas tampaknya
telah menjadi salah satu keprihatinan Erikson terbesar dalam hidup sendiri
maupun teorinya. Selama masa kanak-kanak dan dewasa awal ia dikenal sebagai
Erik Homburger dan orang tuanya terus rincian kelahirannya rahasia. Dia adalah
seorang, jangkung pirang, bermata biru anak yang dibesarkan dalam agama Yahudi.
Erikson adalah seorang
mahasiswa dan guru seni. Setelah lulus dari Erikson Institute di Wina
psikoanalitis 1933. Ia berhijrah bersama istrinya, pertama ke Denmark lalu
ke Amerika Serikat, di mana ia menjadi psikoanalis anak pertama di Boston.
Erikson memegang posisi di Massachusetts General Hospital. Pada tahun 1936,
Erikson menerima posisi di Yale University, bekerja di Institute of Human
Relations dan mengajar di Sekolah Kedokteran. Setelah setahun mengamati
anak-anak Sioux di Dakota Selatan, ia bergabung dengan staf pengajar University
of California di Berkeley, berafiliasi dengan Institut Kesejahteraan Anak, dan
membuka praktik.
Setelah penerbitan buku
yang terkenal Erikson, Anak dan Masyarakat, pada 1950, ia meninggalkan
University of California ketika profesor ada diminta untuk tanda-tangani sumpah
loyalitas. Pada tahun 1960, Erikson kembali ke Harvard sebagai profesor
pembangunan manusia dan tetap di universitas hingga pensiun pada tahun 1970.
Erikson juga dikreditkan dengan menjadi salah satu pencetus psikologi Ego, yang
menekankan peran ego sebagai lebih dari seorang hamba id.
Konseling ego memiliki ciri
khas yang lebih menekankan pada fungsi ego. Kegiatan konseling yang dilakukan
pada umumnya bertujuan untuk memperkuat ego strength, yang berarti melatih
kekuatan ego klien. Konseling ego dipopulerkan oleh
Erikson. Seringkali orang yang bermasalah adalah orang yang memiliki ego
yang lemah. Misalnya, orang yang rendah diri, dan tidak bisa mengambil
keputusan secara tepat dikarenakan ia tidak mampu memfungsikan egonya secara
penuh, baik untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, meraih keinginannya. Perbedaan ego menurut Freud dengan ego menurut Erikson adalah:
menurut Freud ego tumbuh dari id, sedangkan menurut Erikson ego tumbuh sendiri
yang menjadi kepribadian seseorang.
Menurut
Erikson, lingkungan di mana anak hidup sangat penting untuk memberikan
pertumbuhan, penyesuaian, sumber kesadaran diri dan identitas. Bukunya 1969
Gandhi Kebenaran, yang lebih terfokus pada teori yang diterapkan untuk tahap
selanjutnya dalam siklus hidup, memenangkan hadiah Pulitzer Erikson dan US
National Book Award. Pada tahun 1973 National Endowment untuk dipilih Humaniora
Erikson untuk Kuliah Jefferson, kehormatan pemerintah federal AS untuk
pencapaian tertinggi di humaniora. Erikson kuliah berjudul "Dimensi dari
Identity Baru. Erik Erikson meninggal pada 12 Mei 1994.
Erikson
menggambarkan adanya sejumlah kualitas yang dimiliki ego yakni Kepercayaan
Dan Penghargaan, Otonomi Dan Kemauan, Kerajinan Dan Kompetensi, Identitas Dan
Kesetiaan, Keakraban Dan Cinta, Generativitas Dan Pemeliharaan, Serta
Integritas. Ego ini dapat menemukan pemecahan kreatif atas masalah
baru pada setiap tahap kehidupan. Ego bukan menjadi budak lagi, namun dapat
mengatur id, superego dan dibentuk oleh konteks cultural dan historik. Berikut
adalah ego yang sempurna menurut
Erikson :
1. Faktualitas
adalah kumpulan fakta, data, dan metoda yang dapat diverifikasi dengan metoda
kerja yang sedang berlaku. Ego berisi kumpulan fakta dan data hasil interaksi
dengan lingkungan.
2. Universalitas
berkaitan dengan kesadaran akan kenyataan (sens of reality) yang
menggabungkan hal yang praktis dan kongkrit dengan pandangan semesta, mirip
dengan pronsip realita dari Freud.
3. Aktualitas
adalah cara baru dalam berhubungan satu dengan yang lain,
memperkuat hubungan untuk mencapai tujuan bersama.
B. Teori
Kepribadian Erikson
Menurut
teori ini manusia tidaklah didorong oleh energi dari dalam, melainkan untuk
merespon rangsangan yang berbeda-beda, misalnya indvidu dalam kehidupannya perlu
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Menurut Erikson egolah yang mengembangkan
segala sesuatunya. Misalnya kemampuan individu, keadaan dirinya, hubungan
sosialnya dan penyaluran minatnya. Seorang individu haruslah memiliki ego yang
sehat dan kuat guna merespon kondisi lingkungan sebagai salah satu proses
beradaptasi. Erikson lebih menekankan pembahasan kepada pembahasan
psikososial. Dalam teorinya, Erikson merumuskan ciri-ciri perkembangan
kepribadian menjadi delapan tahap, yaitu:
1.
Masa bayi awal (0-1 tahun)
Perkembangan yang sukses ditandai
dengan sifat percaya. Jika anak memperoleh kasih sayang yang cukup dari
orangtuanya dan kebutuhan terpenuhi dengan baik. Perkembangan yang gagal jika
pada masa ini anak sering diterlantarkan dan dikasari oleh orangtua, maka dalam
dirinya akan berkembang sikap tidak percaya.
2.
Masa bayi akhir (1-3 tahun)
Perkembangan yang sukses ditandai
oleh adanya otonomi sedangkan perkembangan yang gagal ditandai oleh adanya
perasaan ragu-ragu dan malu. Pada usia ini anak perlu mendapat kesempatan untuk
melakukan kesalahan dan belajar dari kesalahannya itu. Jika orangtua terlalu
berbuat banyak untuk kepentingan anak, hal ini dapat menghambat otonomi dan
merusak kemampuan mereka untuk menghadapi dunia secara berhasil. Sikap orangtua
yang cenderung melarang, memarahi, dan menyesali perbuatan anaknya akan
menumbuhkembangkan perasaan ragu-ragu dan malu baik pada masa sekarang maupun
pada tahap perkembangan selanjutnya.
3.
Masa kanak-kanak awal (3-5 tahun)
Perkembangan yang sukses ditandai oleh
adanya inisiatif. Sedangkan perkembangan yang gagal ditandai dengan adanya
perasaan bersalah. Menurut Erikson tugas individu pada masa ini adalah
membentuk rasa memiliki kemampuan dan inisiatif. Sikap yang sebaiknya diambil
oleh orangtua dalam mendidik adalah senantiasa memberikan kesempatan kepada
anak untuk beraktualisasi diri dengan berbagai percobaan yang ingin mereka
lakukan dan jika perlu merangsang mereka untuk melakukan berbagai jenis
percobaan walau menunjukkan hasil yang minimal.
4.
Masa kanak-kanak pertengahan (6-11 tahun)
Perkembangan yang sukses ditandai
dengan “menghasilkan”, sedangkan perkembangan yang gagal ditandai dengan rasa
rendah diri. Anak yang sukses menjalani perkembangannya sudah mau melakukan
sesuatu, contohnya menyapu rumah, mengerjakan PR, dan membersihkan sepatu
sendiri. Kewajiban melakukan hal tersebut menjadi ciri sukses yang disebut
dengan mamapu menghasilkan tanggung jawab. Sebaliknya anak yang kurang
beruntung mengalami rendah diri, misalnya takut ke sekolah, takut bernyanyi,
dan kecenderungan merajuk. Anak-anak pada tahap ini mempunyai tugas untuk
membentuk nilai-nilai pribadi, melibatkan diri dalam kegiatan sosial, belajar
menerima dan memahami orang lain. Kegagalan pada masa ini akan membentuk rasa
ketidakmampuan sebagai seorang dewasa kelak, dan tahap perkembangan selanjutnya
akan mengarah negatif.
5.
Masa puber dan remaja (12-20 tahun)
Perkembangan yang sukses ditandai
dengan kemampuan mengenal identitas dirinya sendiri. Perkembangan yang gagal
ditandai dengan kebingungan baik dalam peran gender, bingung dengan keadaan
diri dan cita-cita di masa depan. Menurut Erikson, krisis utama yang sering
terjadi pada masa ini adalah krisis identitas yang berpengaruh terhadap
perkembangan individu di masa dewasa. Remaja yang gagal dalam menentukan
dirinya akan cenderung mengalami konflik peran, kehilangan tujuan dan arah
hidupnya.\
6.
Masa dewasa awal (21-30 tahun)
Perkembangan yang sukses ditandai
dengan adanya keintiman, sedangkan perkembangan yang gagal ditandai oleh
isolasi. Intim yang dimaksud adalah memiliki kemampuan yang baik untuk akrab
dengan orang lain dan tidak menyukai menyendiri. Perkembangan yang baik pada
masa ini ditandai dengan adanya kematangan untuk memasuki lembaga perkawinan.
Sebaliknya orang yang suka menyendiri sebenarnya ia sedang berada dalam
kekacauan perkembangan. Ketidakpercayaan terhadap orang lain serta
ketidakberanian untuk bekerja sama membuat individu tersebut untuk mengurung
diri, mengalami kesukaran dalam membina rumah tangga yang harmonis dan kesulitan
bekerja bersama orang lain.
7.
Masa dewasa pertengahan (30-55 tahun)
Perkembangan yang sukses ditandai
dengan adanya keaktifan dalam berbagai bidang secara umum. Secara umum individu
yang berada pada masa ini mampu melibatkan diri secara luas yang diwujudkan
dalam bentuk kemampuan untuk mengasihi secara baik, bekerja baik, dan
bersahabat. Inilah yang disebut dengan kedewasaan dan kematangan secara penuh.
Individu yang sukses akan mampu berprestasi dengan baik pada bidang yang
ditekuninya. Pada tahap ini sudah mencapai kematangan yang sempurna baik secara
sosial, ekonomi, emosi dan intelektual.
8.
Masa dewasa akhir (55 tahun ke atas)
Perkembangan yang sukses ditandai
dengan keterpaduan dan perkembangan yang gagal ditandai dengan keputusasaan.
Sukses yang terpadu maksudnya apa yang dilakukannya sudah dapat dimaknainya
dengan baik, misalnya jika sudah memiliki cucu, dia akan sayang pada cucu dan
menantunya. Sebaliknya perkembangan yang gagal cenderung membenci menantu dan
cucu serta banyak penyesalan.
Proses
Perkembangan Kepribadian, Erikson membagi atas empat tahapan sebagai berikut:
1.
Ego berkembang atas kekuatan dirinya
sendiri.
2.
Pertumbuhan ego yang normal adalah dengan
berkembangnya keterampilan anak dalam berkomunikasi. Karena melalui komunikasi
individu dapat mengukur dan menilai tingkah lakunya berdasarkan reaksi dari
orang lain.
3.
Perkembangan bahasa juga menambah
keterampilan individu untuk membedakan suatu objek dalam lingkungan dengan
bahasa individu mampu berkomunikasi dengan orang lain.
4.
Kepribadian individu berkembang terus menerus
melalui proses hubungan dirinya dengan dunia luar atau lingkungannya (adanya
keterkaitan antara hubungan yang satu dengan yang lain).
C. Fungsi Ego
Fungsi ego dalam diri individu dibagi menjadi
tiga bagian, yaitu:
1.
Fungsi dorongan ekonomis, fungsi ego ini
menyalurkan dengan cara mewujudkan dalam bentuk tingkah laku secara baik yaitu
yang baik dan dapat diterima lingkungan, berguna dan menguntungkan baik bagi
diri individu sendiri maupun orang lain di lingkungannya.
2.
Fungsi
kognitif, berfungsinya ego pada diri individu untuk menerima
rangsangan dari luar kemudian menyimpannya dan setelah itu dapat
mempergunakannya unuk keperluan coping behavior. Dalam hal ini
individu mempergunakan kemampuan kognitifnya dengan disertai oleh
pertimbangan-pertimbangan akal dan menalar.
3.
Fungsi pengawasan, disebut juga dengan fungsi
kontrol, maksudnya tinglah laku yang dimunculkan individu merupakan tingkah
laku yang berpola dan sesuai dengan aturan. Secara khusus fungsi ego ini
mengontrol perasaan dan emosi terhadap tingkah laku yang dimunculkan.
D. Tujuan
Konseling Ego
Adapun tujuan konseling
menurut Erikson adalah memfungsikan ego klien secara penuh. Tujuan lainnya
adalah melakukan perubahan-perubahan pada diri klien sehingga terbentuk coping
behavior yang dikehendaki dan dapat terbina agar ego klien itu menjadi
lebih kuat. Ego yang baik adalah ego yang kuat, yaitu yang dapat menyesuaikan
diri dengan lingkungan dengan dimana dia berada.
E. Langkah-langkah
Konseling Ego
Adapun langkah-langkah
dalan penyelenggaraan konseling ego adalah:
1.
Membantu klien mengkaji perasaan-perasaannya
berkenaan dengan kehidupan, feeling terhadap peranannya,
penampilan dan hal lain yang terkait dengan tugas-tugas kehidupannya.
2.
Klien diproyeksikan dirinya terhadap masa
depan. Dalam hal ini konselor mendiskusikan tujuan hidup masa depan klien,
sekaligus potensi-potensi yang dimilikinya. Konselor membawa klien agar mampu
melihat hubunagn yang signifikan antara masa depan dan tujuan hidup klien
dengan kondisinya di masa sekarang.
3.
Konselor mendiskusikan bersama klien
hambatan-hambatan yang ditemuinya untuk mencapai tujuan masa depan.
4.
Konselor melalui proses interpretasi dan
refleksi, mengajak klien untuk mengkaji lagi diri sendiri dan lingkungannya.
Selanjutnya konselor berusaha agar klien melihat hubungan antara perasaan
perasaannya tadi dengan tingkah lakunya.
5.
Konselor membantu klien menemukan seperangkat
hasrat, kemauan dan semangat yang lebih baik dan mantap dalam kaitannya dengan
hubungan sosial. Kalau memungkinkan konselor melatihkan tingkah laku yang baru.
F. Aturan dalam
Proses Konseling Ego
Ada Beberapa
aturan dalam konseling ego yaitu:
1.
Proses konseling harus bertitik tolak dari
proses kesadaran.
2.
Proses konseling bertitik tolak dari asas kekinian.
3.
Proses konseling lebih ditekankan pada
pembahasan secara rasional.
4.
Konselor hendaknya menciptakan suasana hangat
dan spontan, baik dalam penerimaan klien maupun dalam proses konseling.
5.
Konseling harus dilakukan secara
profesional.
6.
Proses konseling hendaklah tidak berusaha
mengorganisir keseluruhan kepribadian individu, melainkan hanya pada pola-pola
tingkah laku salah suai saja.
G. Teknik-
Teknik Konseling Ego
Teknik yang dipakai tidak kaku, melainkan
luwes sesuai dengan hak klien untuk menjadi dirinya sendiri, meliputi:
1.
Pengawalan: membina hubungan antara klien dan
konselor.
2.
Pengontrolan proses,
meliputi:
a) Memusatkan
kegiatan pada tugas membangun ego strength klien
b) Mengontrol
keseimbangan antara ekspresi klien yang bersifat kognitif maupun konatif
(emosi) tetapi proses konseling tetap menekankan dimensi kognitif.
c) Mengontrol ambiguitas dalam
proses konseling
3.
Transferensi (trans),
dalam konseling ego transferensi dimaksudkan sebagai perasaan
klien yang timbul terhadap konselor.
4.
Counter transference (konstrans), upaya
konselor untuk mencegah munculnya perasaan terhadap klien dan mempengaruhi
proses konseling.
5.
Diagnosis dan interpretasi, konselor
bertanggungjawab merumuskan dan mendiagnosis masalah, serta memberikan
kesempatan kepada klien untuk memahami masalah-masalahnya itu.
1.
Apabila individu tertekan oleh keadaan yang
menimpanya dan ego kehilangan kontrol, maka kontrol terhadap
tingkah laku beralih dari kesadaran ke ketidaksadaran, kontrol beralih
dari ego ke id.
2.
Tingkah Laku Salah Suai (TLSS), Munculnya
tingkah laku salah suai pada diri seseorang disebabkan oleh tiga faktor,
yaitu:
a)
Individu di masa lalunya kehilangan kemampuan
atau tidak diperkenankan merespon rangsangan dari luar secara tepat sehingga
pada saat sekarang menjadi salah suai dalam bertingkah.
b)
Apabila pola coping yang sudah terbina pada
dirinya sekarang tidak sesuai lagi dengan situasi sekarang.
c)
Fungsi ego tidak berjalan dengan baik,
saat bertingkah laku salah satu fungsi ego atau ketiga-tiganya tidak berfungsi
dengan baik, misalnya individu tersebut tidak mempertimbangkan untung ruginya
dalam bertingkah laku, kurang memanfaatkan pikiran atau kurang mengontrol
perasaan, sehingga menjadi sorotan dari lingkungan dan tentu saja menimbulkan
ketidaknyamanan bagi individu.
3.
Rusaknya fungsi ego
Misalnya individu tersebut tidak
mempertimbangkan untung ruginya dalam bertingkah laku tertentu, kurang
memanfaatkan pikiran atau kurang mengontrol perasaanya sehingga menjadi sorotan
orang disekitarnya dan tentu saja menimbulkan ketidakenakan bagi yang
bersangkutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar