Rabu, Maret 23

KONSELING LINTAS BUDAYA

Jumadi Mori Salam Tuasikal, M.Pd
A.    
Pengertian Dan Makna
Dalam konseling lintas budaya, budaya atau kebudayaan (culture) meliputi tradisi, kebiasaan, nilai-nilai, norma, bahasa, keyakinan dan berpikir yang telah terpola dalam suatu masyarakat dan diwariskan dari generasi ke generasi serta memberikan identitas pada komunitas pendukungnya (Prosser, 1978). Secara singkat dapat pula diartikan bahwa budaya adalah pandangan hidup sekelompok orang (Berry, dkk.,1998), atau dalam rumusan yang lebih umum adalah “cara kita hidup seperti ini”, the way we are, yang diekspresikan dalam cara (sekelompok orang) berpikir, mempersepsikan, menilai, dan bertindak. Kata “sekelompok orang” (a group of people) perlu digaris bawahi untuk menunjukkan bahwa budaya selalu menunjukkan pada ciri-ciri yang melekat pada kelompok, tidak pada (seseorang) individu.
Definisi-definisi awal tentang lintas budaya cenderung untuk menekankan pada ras, etnisitas, dan sebagainya; sedangkan para teoretisi mutakhir cenderung untuk mendefinisikan lintas budaya terbatas pada variabelvariabelnya (Sue dan Sue, 1990). Adapun yang dimaksud dengan konseling lintas budaya (cross-cultural counseling, counseling across cultures, multicultural counseling) adalah konseling yang melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya (cultural biases) pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif (Anak Agung Ngurah Adhiputra, 2013). Namun, argumen-argumen yang lain menyatakan, bahwa lintas budaya harus melingkupi pula seluruh bidang dari kelompok-kelompok yang tertindas, bukan hanya orang kulit berwarna, dikarenakan yang tertindas itu dapat berupa gender, kelas, agama, keterbelakangan, bahasa, orientasi seksual, dan usia (Trickett, Watts, dan Birman, 1994; Arrendondo, Psalti, dan Cella, 1993; Pedersen, 1991).
Dilihat dari sisi identitas budaya, konseling lintas budaya merupakan hubungan konseling pada budaya yang berbeda antara konselor dengan konseli. Burn (1992) menjelaskan cross cultural counseling is the process of counseling individuals who are of different culture/cultures than that of the therapist. Oleh sebab itu menurutnya sensitivitas konselor terhadap budaya konseli menjadi sangat penting.
Dalam pandangan Rendon (1992) perbedaan budaya bisa terjadi pada ras atau etnik yang sama ataupun berbeda. Oleh sebab itu definisi konseling lintas budaya yang dapat dijadikan rujukan adalah sebagai berikut. Konseling lintas budaya adalah pelbagai hubungan konseling yang melibatkan para peserta yang berbeda etnik atau kelompok-kelompok minoritas; atau hubungan konseling yang melibatkan konselor dan konseli yang secara rasial dan etnik sama, tetapi memiliki perbedaan budaya yang dikarenakan variabel-variabel lain seperti seks, orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik, dan usia (Atkinson, Morten, dan Sue, 1989:37).
Dedi Supriadi (2001:6) mengajukan alternatif untuk keefektifan konseling, setelah mengemukakan definisi konseling lintas budaya. Konseling lintas budaya melibatkan konselor dan konseli yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang responsif secara kultural. Dengan demikian, maka konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor dan klien.
Dalam praktik sehari-hari, konselor pasti akan berhadapan dengan klien yang berbeda latar belakang sosial budayanya. Dengan demikian, tidak akan mungkin disamakan dalam penanganannya (Prayitno, 1994). Perbedaan perbedaan ini memungkinkan terjadinya pertentangan, saling mencurigai, atau perasaan perasaan negatif lainnya. Pertentangan, saling mencurigai atau perasaan yang negatif terhadap mereka yang berlainan budaya sifatnya adalah alamiah atau manusiawi. Sebab, individu akan selalu berusaha untuk bisa mempertahankan atau melestarikan nilai nilai yang selama ini dipegangnya. Jika hal ini muncul dalam pelaksanaan konseling, maka memungkinkan untuk timbul hambatan dalam konseling.
Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling. Sebagai rangkuman dari apa yang telah dijelaskan di atas, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas budaya. Menurut Pedersen (1980) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki tiga elemen yaitu:
1.      konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien;
2.      konselor danklien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalamlatar belakang budaya (tempat) konselor; dan
3.      konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukankonseling di tempat yang berbeda pula.
Lebih lanjut, menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Carter, 1991) dinyatakan bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah:
1.      latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor,
2.      latar belakang budaya yang dimiliki oleh klien,
3.      asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling, dan
4.      nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan.
Adapun faktor faktor lain yang secara signifikan mempengaruhi proses konseling lintas budaya adalah a) keadaan demografi yang meliputi jenis kelamin, umur tem¬pat tinggal, b) variabel status seperti pendidikan, politik dan ekonomi, serta variabel etnografi seperti agama, adat, sistem nilai
B.     Tujuan
Secara umum modul pelatihan ini ditujukan untuk meningkatkan pemahaman, sikap positif, dan keterampilan dasar peserta dalam membantu individu melalui bimbingan dan konseling lintas budaya. Secara khusus, setelah mengikuti pelatihan tentang bimbingan dan konseling lintas budaya, para peserta diharapkan dapat:
1.      Memahami ragam budaya yang dapat mempengaruhi perilaku individu dan kelompok.
2.      Memahami dan menunjukkan sikap penerimaan terhadap perbedaan sudut pandang subjektif antara konselor dengan konseli.
3.      Peka, toleran, dan responsif terhadap perbedaan budaya konseli.
4.      Menerapkan prinsip-prinsip konteks lintas budaya dalam bimbingan dan konseling.
C.    Pendekatan Konseling Lintas Budaya
Sedikitnya ada tiga pendekatan dalam konseling lintas budaya:
1.      pendekatan universal atau etik yang menekankan inklusivitas, komonalitas atau keuniversalan kelompok-kelompok.
2.      pendekatan emik (kekhususanbudaya) yang menyoroti karakteristik-karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan konseling khusus mereka.
3.      pendekatan inklusif atau transcultural, yang terkenal sejak diterbitkan sebuah karya Ardenne dan Mahtani’s (1989) berjudul Transcultural Counseling in Action. Mereka menggunakan istilah trans sebagai lawan dari inter atau cross cultural counseling untuk menekankan bahwa keterlibatan dalam konseling merupakan proses yang aktif dan resiprokal (Palmer and Laugngani, 2008 : 156).
Namun, Fukuyama (1990) yang berpandangan universal pun menegaskan, bahwa pendekatan inklusif disebut pula konseling “transcultural” yang menggunakan pendekatan emik; dikarenakan titik anjak batang tubuh literaturnya menjelaskan karakteristik-karakteristik, nilai-nilai, dan teknik-teknik untuk bekerja dengan populasi spesifik yang memiliki perbedaan budaya dominan.
Pendekatan konseling trancultural mencakup komponen berikut.
1.      Sensitivitas konselor terhadap variasi-variasi dan bias budaya dari pendekatan konseling yang digunakannya.
2.      Pemahaman konselor tentang pengetahuan budaya konselinya.
3.      Kemampuan dan komitmen konselor untuk mengembangkan pendekatan konseling yang merefleksikan kebutuhan budaya konseli.
4.      Kemampuan konselor untuk menghadapi peningkatan kompleksitas lintas budaya.
Asumsi-asumsi yang mendasari pendekatan konseling transcultural sebagai berikut:
1.      Semua kelompok-kelompok budaya memiliki kesamaan kebenaran untuk kepentingan konseling;
2.      Kebanyakan budaya merupakan musuh bagi seseorang dari budaya lain;
3.      Kelas dan jender berinteraksi dengan budaya dan berpengaruh terhadap outcome konseling.
D.    Model Konseling Lintas Budaya
Palmer and Laungani (2008 : 97-109) mengajukan tiga model konseling lintas budaya, yakni (1) culture centred model, (2) integrative model, dan (3) ethnomedical model.
1.      Model Berpusat pada Budaya (Culture Centred Model)
Palmer and Laungani (2008) berpendapat bahwa budaya-budaya barat menekankan individualisme, kognitifisme, bebas, dan materialisme, sedangkan budaya timur menekankan komunalisme, emosionalisme, determinisme, dan spiritualisme. Konsep-konsep ini bersifat kontinum tidak dikhotomus. Pengajuan model berpusat pada budaya didasarkan pada suatu kerangka pikir (framework) korespondensi budaya konselor dan konseli. Diyakini, sering kali terjadi ketidaksejalanan antara asumsi konselor dengan kelompok-kelompok konseli tentang budaya, bahkan dalam budayanya sendiri. Konseli tidak mengerti keyakinan-keyakinan budaya yang fundamental konselornya demikian pula konselor tidak memahami keyakinan-keyakinan budaya konselinya. Atau bahkan keduanya tidak memahami dan tidak mau berbagi keyakinan-keyakinan budaya mereka.
2.      Model Integratif (Integrative Model)
Berdasarkan uji coba model terhadap orang kulit hitan Amerika, Jones (Palmer and Laungani, 2008) merumuskan empat kelas variabel sebagai suatu panduan konseptual dalam konseling model integratif, yakni sebagai berikut :
a.      Reaksi terhadap tekanan-tekanan rasial (reactions to racial oppression).
b.     Pengaruh budaya mayoritas (influence of the majority culture).
c.      Pengaruh budaya tradisional (influence of traditional culture).
d.     Pengalaman dan anugrah individu dan keluarga (individual and family experiences and endowments).
Menurut Jones (Palmer and Laungani, 2008), pada kenyataannya sungguh sulit untuk memisahkan pengaruh semua kelas variabel tersebut. Menurutnya, yang menjadi kunci keberhasilan konseling adalah asesmen yang tepat terhadap pengalaman-pengalaman budaya tradisional sebagai suatu sumber perkembangan pribadi. Budaya tradisional yang dimaksud adalah segala pengalaman yang memfasilitasi individu berkembangan baik secara disadari ataupun tidak. Yang tidak disadari termasuk apa yang diungkapkan Jung (1972) dengan istilah colective uncosious (ketidaksadaran koletif), yakni nilai-nilai budaya yang diturunkan dari generasi ke generasi. Oleh sebab itu kekuatan model konseling ini terletak pada kemampuan mengases nilai-nilai budaya tradisional yang dimiliki individu dari berbagai varibel di atas.
3.      Model Etnomedikal (Ethnomedical Model)
Model etnomedikal pertama kali diajukan oleh Ahmed dan Fraser (1979) yang dalam perkembangannya dilanjutkan oleh Alladin (1993). Model ini merupakan alat konseling transkultural yang berorientasi pada paradigma memfasilitasi dialog terapeutik dan peningkatan sensitivitas transkultural. Pada model ini menempatkan individu dalam konsepsi sakit dalam budaya dengan sembilan model dimensional sebagai kerangka pikirnya.
E.     Wawasan Yang Harus Dimiliki Konselor Lintas Budaya
Sue (Dalam Corey, G. 1997. 37-38) dan kawan-kawan mengusulkan sejumlah kompetensi minimum yang harus dimiliki konselor yang memiliki wawasan lintas budaya, yaitu:
1.      Keyakinan dan sikap konselor yang efektif secara kultural:
a.         Mereka sadar akan sistim nilai, sikap dan bias yang mereka miliki dan sadar batapa ini semua mungkin mempengaruhi klien dari kelompok minoritas
b.        Mereka mau menghargai kebinekaan budaya, mereka merasa tidak terganggu kalau klien mereka adalah berbeda ras dan menganut keyakinan yang berbeda dengan mereka
c.         Mereka percaya bahwa integrasi berbagai sistem nilai dapat memberi sumbangan baik terhadap pertumbuhan terapis maupun klien
d.        Mereka ada kapasitas untuk berbagai pandangan dengan kliennya tentang dunia tanpa menilai pandangan itu sendiri secara kritis
e.         Mereka peka terhadap keadaan (seperti bias personal dan keadaan identitas etnik) yang menuntut adanya acuan klien pada kelompok ras atau budaya masing-masing
2.      Pengetahuan konselor yang efektif secara multikultural:
a.         Mereka mengerti tentang dampak konsep penindasan dan rasial pada profesi kesehatan mental dan pada kehidupan pribadi dan kehidupan profesional mereka
b.        Mereka sadar akan hambatan institutional yang tidak memberi peluang kepada kelompok minoritas untuk memanfaatkan pelayanan psikologi secara penuh di masyarakat
c.         Meraka tahu betapa asumsi nilai dari teori utama konseling mungkin berinteraksi dengan nilai dari kelompok budaya yang berbeda
d.        Mereka sadar akan ciri dasar dari konseling lintas kelas/budaya/ berwawasan budaya dan yang mempengaruhi proses konseling
e.         Mereka sadar akan metoda pemberian bantuan yang khas budaya (indegenous)
f.         Mereka memilki pengetahuan yang khas tentang latar belakang sejarah, tradisi, dan nilai dari kelompok yang ditanganinya.
3.      Keterampilan konselor yang efektif secara kultural
a.         Mereka mampu menggunakan gaya konseling yang luas yang sesuai dengan sistem nilai dari kelompok minoritas yang berbeda
b.        Mereka dapat memodifikasi dan mengadaptasi pendekatan konvensional pada konseling dan psikoterapi untuk bisa mengakomodasi perbedaan-perbedaan kultural
c.         Mereka mampu menyampaikan dan menerima pesan baik verbal maupun non-verbal secara akurat dan sesuai
d.        Mereka mampu melakukan intervensi “di luar dinas” apabila perlu dengan berasumsi pada peranan sebagai konsultan dan agen pembaharuan
Menurut (Supriyatna, 2011: 169) Sedikitnya ada tiga pendekatan dalam konseling lintas budaya, pertama, pendekatan universal atau etik yang menekankan inklusivitas, komonalitas atau keuniversalan kelompok-kelompok. Kedua, pendekatan emik (Kekhususan-budaya) yang menyoroti karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan konseling khusus mereka. Ketiga, pendekatan inklusif atau transcultural. Mereka mengunakan istilah trans sebagai lawan dari inter atau cross cultural counseling untuk menekankan bahwa keterlibatan dalam konseling merupakan proses yang aktif dan resiprokal.
  
KEPUSTAKAAN
Anak Agung Ngurah Adhiputra. 2013. Konsleling Lintas Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Corey, G. 1991. Theory And Practice Of Group Counseling. California. Brooks/Cole Publishing Company.
Dayakisni, Tri & Salis Yuniardi. 2004. Psikologi Lintas Budaya. Malang. Umm Press.
Dedi Supriadi. 2001. Konseling Lintas Budaya: Isu – Isu Dan Relevansinya Di Indonesia. Bandung. UPI.
Fukuyama, M. A. (1990). “Taking A Universal Approach To Multicultural Counseling.” Counselor Education And Supervision, 30, 6-17.
Palmer, Stephen & Laungani, Pittu. (2008). Counseling In A Multicultural Society. London : Sage Publisher.
Supriadi, D. (2001). Konseling Lintas-Budaya: Isu-Isu Dan Relevansinya Di Indonesia. (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Sue, D.W. Dan Sue, D. 2003. Counseling The Culturally Diverse Theory And Practice. New York John Wiley And Sons, Inc.



1 komentar:

TEORI PERKEMBANGAN KARIR: KRUMBOLTZ SERTA APLIKASINYA

Jumadi Mori Salam Tuasikal, M.Pd A.    Konsep Dasar             Jika kita bicara mengenai bimbingan karir melalui pendekatan pemilihan...