Jumadi Mori Salam Tuasikal, M.Pd
A.
Pengertian
Dan Makna
Dalam konseling lintas budaya, budaya
atau kebudayaan (culture) meliputi tradisi, kebiasaan, nilai-nilai,
norma, bahasa, keyakinan dan berpikir yang telah terpola dalam suatu masyarakat
dan diwariskan dari generasi ke generasi serta memberikan identitas pada
komunitas pendukungnya (Prosser, 1978). Secara singkat dapat pula diartikan
bahwa budaya adalah pandangan hidup sekelompok orang (Berry, dkk.,1998), atau
dalam rumusan yang lebih umum adalah “cara kita hidup seperti ini”, the way
we are, yang diekspresikan dalam cara (sekelompok orang) berpikir, mempersepsikan,
menilai, dan bertindak. Kata “sekelompok orang” (a group of people)
perlu digaris bawahi untuk menunjukkan bahwa budaya selalu menunjukkan pada
ciri-ciri yang melekat pada kelompok, tidak pada (seseorang) individu.
Definisi-definisi awal tentang lintas
budaya cenderung untuk menekankan pada ras, etnisitas, dan sebagainya;
sedangkan para teoretisi mutakhir cenderung untuk mendefinisikan lintas budaya
terbatas pada variabelvariabelnya (Sue dan Sue, 1990). Adapun yang dimaksud dengan konseling
lintas budaya (cross-cultural counseling, counseling across cultures,
multicultural counseling) adalah konseling yang melibatkan konselor dan
klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu
proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya (cultural
biases) pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif
(Anak Agung Ngurah Adhiputra, 2013). Namun, argumen-argumen yang lain
menyatakan, bahwa lintas budaya harus melingkupi pula seluruh bidang dari
kelompok-kelompok yang tertindas, bukan hanya orang kulit berwarna, dikarenakan
yang tertindas itu dapat berupa gender, kelas, agama, keterbelakangan, bahasa,
orientasi seksual, dan usia (Trickett, Watts, dan Birman, 1994; Arrendondo,
Psalti, dan Cella, 1993; Pedersen, 1991).
Dilihat dari sisi identitas budaya,
konseling lintas budaya merupakan hubungan konseling pada budaya yang berbeda
antara konselor dengan konseli. Burn (1992) menjelaskan cross cultural
counseling is the process of counseling individuals who are of different
culture/cultures than that of the therapist. Oleh sebab itu menurutnya
sensitivitas konselor terhadap budaya konseli menjadi sangat penting.
Dalam pandangan Rendon (1992) perbedaan
budaya bisa terjadi pada ras atau etnik yang sama ataupun berbeda. Oleh sebab
itu definisi konseling lintas budaya yang dapat dijadikan rujukan adalah sebagai
berikut. Konseling lintas budaya adalah pelbagai hubungan konseling yang
melibatkan para peserta yang berbeda etnik atau kelompok-kelompok minoritas;
atau hubungan konseling yang melibatkan konselor dan konseli yang secara rasial
dan etnik sama, tetapi memiliki perbedaan budaya yang dikarenakan
variabel-variabel lain seperti seks, orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik,
dan usia (Atkinson, Morten, dan Sue, 1989:37).
Dedi Supriadi (2001:6) mengajukan
alternatif untuk keefektifan konseling, setelah mengemukakan definisi konseling
lintas budaya. Konseling lintas budaya melibatkan konselor dan konseli yang
berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses
konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang
mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka
konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari
bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan
memiliki keterampilan-keterampilan yang responsif secara kultural. Dengan
demikian, maka konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural
encounter) antara konselor dan klien.
Dalam
praktik sehari-hari, konselor pasti akan berhadapan dengan klien yang berbeda
latar belakang sosial budayanya. Dengan demikian, tidak akan mungkin disamakan
dalam penanganannya (Prayitno, 1994). Perbedaan perbedaan ini memungkinkan
terjadinya pertentangan, saling mencurigai, atau perasaan perasaan negatif
lainnya. Pertentangan, saling mencurigai atau perasaan yang negatif terhadap
mereka yang berlainan budaya sifatnya adalah alamiah atau manusiawi. Sebab,
individu akan selalu berusaha untuk bisa mempertahankan atau melestarikan nilai
nilai yang selama ini dipegangnya. Jika hal ini muncul dalam pelaksanaan
konseling, maka memungkinkan untuk timbul hambatan dalam konseling.
Konselor
perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan
nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan membuat
konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan
atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan
konseling. Sebagai rangkuman dari apa yang telah dijelaskan di atas, maka ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas
budaya. Menurut Pedersen (1980) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya
memiliki tiga elemen yaitu:
1. konselor
dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan
konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien;
2. konselor
danklien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan
konseling dalamlatar belakang budaya (tempat) konselor; dan
3. konselor
dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan
melakukankonseling di tempat yang berbeda pula.
Lebih
lanjut, menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Carter, 1991) dinyatakan
bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah:
1. latar
belakang budaya yang dimiliki oleh konselor,
2. latar
belakang budaya yang dimiliki oleh klien,
3. asumsi-asumsi
terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling, dan
4. nilai-nilai
yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang
berlatar belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan.
Adapun
faktor faktor lain yang secara signifikan mempengaruhi proses konseling lintas
budaya adalah a) keadaan demografi yang meliputi jenis kelamin, umur tem¬pat
tinggal, b) variabel status seperti pendidikan, politik dan ekonomi, serta
variabel etnografi seperti agama, adat, sistem nilai
B. Tujuan
Secara umum modul pelatihan ini
ditujukan untuk meningkatkan pemahaman, sikap positif, dan keterampilan dasar
peserta dalam membantu individu melalui bimbingan dan konseling lintas budaya. Secara
khusus, setelah mengikuti pelatihan tentang bimbingan dan konseling lintas
budaya, para peserta diharapkan dapat:
1. Memahami
ragam budaya yang dapat mempengaruhi perilaku individu dan kelompok.
2. Memahami
dan menunjukkan sikap penerimaan terhadap perbedaan sudut pandang subjektif
antara konselor dengan konseli.
3. Peka,
toleran, dan responsif terhadap perbedaan budaya konseli.
4. Menerapkan
prinsip-prinsip konteks lintas budaya dalam bimbingan dan konseling.
C. Pendekatan
Konseling Lintas Budaya
Sedikitnya ada tiga pendekatan dalam
konseling lintas budaya:
1. pendekatan universal
atau etik yang menekankan inklusivitas,
komonalitas atau keuniversalan kelompok-kelompok.
2. pendekatan
emik (kekhususanbudaya) yang menyoroti
karakteristik-karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan
kebutuhan-kebutuhan konseling khusus mereka.
3. pendekatan
inklusif atau transcultural, yang terkenal sejak diterbitkan sebuah karya
Ardenne dan Mahtani’s (1989) berjudul Transcultural Counseling in Action.
Mereka menggunakan istilah trans sebagai lawan dari inter atau
cross cultural counseling untuk menekankan bahwa keterlibatan dalam
konseling merupakan proses yang aktif dan resiprokal (Palmer and
Laugngani, 2008 : 156).
Namun, Fukuyama (1990) yang
berpandangan universal pun menegaskan, bahwa pendekatan inklusif disebut
pula konseling “transcultural” yang menggunakan pendekatan emik;
dikarenakan titik anjak batang tubuh literaturnya menjelaskan karakteristik-karakteristik,
nilai-nilai, dan teknik-teknik untuk bekerja dengan populasi spesifik
yang memiliki perbedaan budaya dominan.
Pendekatan konseling trancultural mencakup
komponen berikut.
1. Sensitivitas
konselor terhadap variasi-variasi dan bias budaya dari pendekatan konseling
yang digunakannya.
2. Pemahaman
konselor tentang pengetahuan budaya konselinya.
3. Kemampuan
dan komitmen konselor untuk mengembangkan pendekatan konseling yang
merefleksikan kebutuhan budaya konseli.
4. Kemampuan
konselor untuk menghadapi peningkatan kompleksitas lintas budaya.
Asumsi-asumsi yang mendasari pendekatan
konseling transcultural sebagai berikut:
1. Semua
kelompok-kelompok budaya memiliki kesamaan kebenaran untuk kepentingan
konseling;
2. Kebanyakan
budaya merupakan musuh bagi seseorang dari budaya lain;
3. Kelas
dan jender berinteraksi dengan budaya dan berpengaruh terhadap outcome konseling.
D. Model
Konseling Lintas Budaya
Palmer and Laungani (2008 : 97-109)
mengajukan tiga model konseling lintas budaya, yakni (1) culture centred
model, (2) integrative model, dan (3) ethnomedical model.
1.
Model Berpusat pada Budaya (Culture Centred Model)
Palmer and Laungani (2008) berpendapat
bahwa budaya-budaya barat menekankan individualisme, kognitifisme, bebas, dan
materialisme, sedangkan budaya timur menekankan komunalisme, emosionalisme, determinisme,
dan spiritualisme. Konsep-konsep ini bersifat kontinum tidak dikhotomus. Pengajuan
model berpusat pada budaya didasarkan pada suatu kerangka pikir (framework)
korespondensi budaya konselor dan konseli. Diyakini, sering kali terjadi
ketidaksejalanan antara asumsi konselor dengan kelompok-kelompok konseli
tentang budaya, bahkan dalam budayanya sendiri. Konseli tidak mengerti
keyakinan-keyakinan budaya yang fundamental konselornya demikian pula konselor
tidak memahami keyakinan-keyakinan budaya konselinya. Atau bahkan keduanya
tidak memahami dan tidak mau berbagi keyakinan-keyakinan budaya mereka.
2.
Model Integratif (Integrative Model)
Berdasarkan uji coba model terhadap
orang kulit hitan Amerika, Jones (Palmer and Laungani, 2008) merumuskan empat
kelas variabel sebagai suatu panduan konseptual dalam konseling model
integratif, yakni sebagai berikut :
a. Reaksi
terhadap tekanan-tekanan rasial (reactions to racial oppression).
b. Pengaruh
budaya mayoritas (influence of the majority culture).
c. Pengaruh
budaya tradisional (influence of traditional culture).
d. Pengalaman
dan anugrah individu dan keluarga (individual and family experiences and
endowments).
Menurut Jones (Palmer and Laungani,
2008), pada kenyataannya sungguh sulit untuk memisahkan pengaruh semua kelas
variabel tersebut. Menurutnya, yang menjadi kunci keberhasilan konseling adalah
asesmen yang tepat terhadap pengalaman-pengalaman budaya tradisional sebagai
suatu sumber perkembangan pribadi. Budaya tradisional yang dimaksud adalah
segala pengalaman yang memfasilitasi individu berkembangan baik secara disadari
ataupun tidak. Yang tidak disadari termasuk apa yang diungkapkan Jung (1972)
dengan istilah colective uncosious (ketidaksadaran koletif), yakni nilai-nilai
budaya yang diturunkan dari generasi ke generasi. Oleh sebab itu kekuatan model
konseling ini terletak pada kemampuan mengases nilai-nilai budaya tradisional
yang dimiliki individu dari berbagai varibel di atas.
3.
Model Etnomedikal (Ethnomedical Model)
Model etnomedikal pertama kali
diajukan oleh Ahmed dan Fraser (1979) yang dalam perkembangannya dilanjutkan
oleh Alladin (1993). Model ini merupakan alat konseling transkultural yang
berorientasi pada paradigma memfasilitasi dialog terapeutik dan peningkatan
sensitivitas transkultural. Pada model ini menempatkan individu dalam konsepsi
sakit dalam budaya dengan sembilan model dimensional sebagai kerangka pikirnya.
E.
Wawasan Yang Harus Dimiliki Konselor Lintas Budaya
Sue (Dalam Corey, G. 1997. 37-38) dan kawan-kawan
mengusulkan sejumlah kompetensi minimum yang harus dimiliki konselor yang
memiliki wawasan lintas budaya, yaitu:
1. Keyakinan dan sikap konselor yang efektif secara kultural:
a.
Mereka sadar akan sistim nilai,
sikap dan bias yang mereka miliki dan sadar batapa ini semua mungkin
mempengaruhi klien dari kelompok minoritas
b.
Mereka mau menghargai kebinekaan
budaya, mereka merasa tidak terganggu kalau klien mereka adalah berbeda ras dan
menganut keyakinan yang berbeda dengan mereka
c.
Mereka percaya bahwa integrasi
berbagai sistem nilai dapat memberi sumbangan baik terhadap pertumbuhan terapis
maupun klien
d.
Mereka ada kapasitas untuk
berbagai pandangan dengan kliennya tentang dunia tanpa menilai pandangan itu
sendiri secara kritis
e.
Mereka peka terhadap keadaan
(seperti bias personal dan keadaan identitas etnik) yang menuntut adanya acuan
klien pada kelompok ras atau budaya masing-masing
2. Pengetahuan konselor yang efektif secara multikultural:
a.
Mereka mengerti tentang dampak
konsep penindasan dan rasial pada profesi kesehatan mental dan pada kehidupan
pribadi dan kehidupan profesional mereka
b.
Mereka sadar akan hambatan
institutional yang tidak memberi peluang kepada kelompok minoritas untuk
memanfaatkan pelayanan psikologi secara penuh di masyarakat
c.
Meraka tahu betapa asumsi nilai
dari teori utama konseling mungkin berinteraksi dengan nilai dari kelompok
budaya yang berbeda
d.
Mereka sadar akan ciri dasar dari
konseling lintas kelas/budaya/ berwawasan budaya dan yang mempengaruhi proses
konseling
e.
Mereka sadar akan metoda pemberian
bantuan yang khas budaya (indegenous)
f.
Mereka memilki pengetahuan yang
khas tentang latar belakang sejarah, tradisi, dan nilai dari kelompok yang
ditanganinya.
3. Keterampilan konselor yang efektif secara kultural
a.
Mereka mampu menggunakan gaya
konseling yang luas yang sesuai dengan sistem nilai dari kelompok minoritas
yang berbeda
b.
Mereka dapat memodifikasi dan
mengadaptasi pendekatan konvensional pada konseling dan psikoterapi untuk bisa
mengakomodasi perbedaan-perbedaan kultural
c.
Mereka mampu menyampaikan dan
menerima pesan baik verbal maupun non-verbal secara akurat dan sesuai
d.
Mereka mampu melakukan intervensi
“di luar dinas” apabila perlu dengan berasumsi pada peranan sebagai konsultan
dan agen pembaharuan
Menurut
(Supriyatna, 2011: 169) Sedikitnya ada tiga pendekatan dalam konseling lintas
budaya, pertama, pendekatan universal atau etik yang menekankan inklusivitas,
komonalitas atau keuniversalan kelompok-kelompok. Kedua, pendekatan emik
(Kekhususan-budaya) yang menyoroti karakteristik khas dari populasi-populasi
spesifik dan kebutuhan-kebutuhan konseling khusus mereka. Ketiga, pendekatan
inklusif atau transcultural. Mereka mengunakan istilah trans sebagai
lawan dari inter atau cross cultural counseling untuk menekankan
bahwa keterlibatan dalam konseling merupakan proses yang aktif dan resiprokal.
Anak Agung Ngurah Adhiputra. 2013.
Konsleling Lintas Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Corey, G. 1991. Theory And
Practice Of Group Counseling. California. Brooks/Cole Publishing Company.
Dayakisni, Tri
& Salis Yuniardi. 2004. Psikologi Lintas Budaya. Malang. Umm Press.
Dedi Supriadi. 2001. Konseling
Lintas Budaya: Isu – Isu Dan Relevansinya Di Indonesia. Bandung. UPI.
Fukuyama,
M. A. (1990). “Taking A Universal Approach To Multicultural Counseling.” Counselor
Education And Supervision, 30, 6-17.
Palmer,
Stephen & Laungani, Pittu. (2008). Counseling In A Multicultural Society.
London : Sage Publisher.
Supriadi,
D. (2001). Konseling Lintas-Budaya: Isu-Isu Dan Relevansinya Di Indonesia. (Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Sue,
D.W. Dan Sue, D. 2003. Counseling
The Culturally Diverse Theory And Practice. New York John
Wiley And Sons, Inc.
Terimakasih pak sangat membantu tugas matakuliah��
BalasHapus