Sabtu, Maret 12

KONSELING PANCAWASKITA / KOPASTA (PRAYITNO)

Oleh: Jumadi Tuasikal
A.    Konsep  Dasar
            Konseling Pancawaskita disingkat (KOPASTA). Konseling Pancawaskita merupakan salah satu bentuk pendekatan dalam konseling dengan memadupadankan teori konseling (Eklektik). Kopasta menitik beratkan pada wawasan Pancawaskita. Pancawaskita mengintegrasikan lima faktor yang mempengaruhi individu yaitu:
1.      Pancasila.
2.      Lirahid (lima ranah kehidupan)
3.      Panca daya ( Takwa, Cipta, Rasa, Karsa, Karya)
4.      Masidu (lima kondisi yang ada pada diri individu) yang terdiri dari (rasa aman, kompetensi, aspirasi, semangat, pengunaan kesempatan)
5.      Likuladu (lima kekuatan di luar individu) yang terdiri dari (gizi, pendidikan, sikap, perlakuan orang lain, budaya dan kondisi insidensial)
                        Dalam sejarahnya KOPASTA dikembangkan sebagai salah satu pendekatan yang dilakukan dalam pelaksanaan konseling perorangan, para konselor diharapkan dapat menguasai pendekatan ini sebagai salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam penyelenggaraan konseling perorangan. Konselor profesional dituntut mengintegrasikan lima faktor yang mempengaruhi perkembangan dan kehidupan individu yaitu pancasila, pancadaya ( Takwa, Cipta, Rasa, Karsa, Karya),  lirahid/ lima ranah  kehidupan ( Jasmanah-rohaniah, social-material, Spiritual dunia, akherat, lokal-global/universal), lika lidu/ lima kekuatan di luar individu( gizi, pendidikan, sikap, perlakuan orang lain, budaya dan kondisi insidensial) , dan masidu/lima kondisi yang ada pada diri individu( rasa aman, kompetensi, aspirasi, semangat, pengunaan kesempatan). Pengaruh faktor-faktor tersebut perlu diperhatikan secara cermat dan dilakukan pembinaan melalui konseling sehingga perkembangan dan kehidupan individu menjadi lebih membahagiakan. Kebahagan ini akan menjelma melalui kehidupan individu yang mandiri
                        Ditilik dari isinya konseling merupakan proses membangun pribadi yang mandiri. Sebelum seorang konselor membangun hal itu, terlebih dahulu ia perlu membangun pribadinya yang mandiri terlebih dahulu. Konselor yang mandiri itu akan mampu dari segi teknis dan psikologisnya menyelenggarakan konseling eklektik dengan wawasan pancawaskita. Waskita merupakan sifat yang terpancar dari kiat dan kinerja yang penuh dengan keunggulan semangat disertai dengan :
1.      Kecerdasan, bahwa konseling adalah pekerjaan yang diselenggarakan atas dasar teori dan teknologi yang tinggi serta pertimbangan akal yang jernih, matang dan kreatif.
2.      Kekuatan, bahwa konselor adalah pribadi yang tangguh baik dalam keluasan dan kedalaman wawasan berfikirnya, pengetahuan serta keterampilannya, maupun dalam kemauan dan ketekunannya dalammelayani kliennya.
3.      Keterarahan, bahwa kegiatan konseling berorientasi kepada keberhasilan klien mengoptimalkan perkembangan dirinya dan mengatasi permasalahanya.
4.      Ketelitian, bahwa konselor bekerja dengan cermat dan hati-hati serta berdasarkan data dalam memilih dan menerapkan teori dan teknologi konseling.
5.      Kearif bijaksanaan, bahwa konselor dalam menyikapi dan bertindak didasarkan pada peninjauan dan pertimbangan yang matang, kelembutan dan kesantunan terhadap klien dan orang lain pada umumnya sesuai dengan nilai moral dan norma-norma yang berlaku serta kode etik konseling.
                        Itulah panca waskita , kewaskitaan yang didalamnya terkandung  lima faktor yang akan menjadi andalan bagi keberhasilan seorang konselor.

B.     Hakekat Keberadaan
            Dunia dan alam semesta dipenuhi oleh serba keberadaan. Sebutlah sesuatu, maka sesuatu itu adalah sebuah keberadaan. Keberadaan terbentang dari yang paling kasat mata dan teraba (konkrit) sampai yang paling khayal dan termaya (abstrak) serta gaib; dari yang paling besar sampai yang paling kecil, dari yang paling sederhana sampai yang tak terhingga, dan dari yang ada sampai tidak ada.
            Dalam kedinamisan keberadaan sepanjang zaman, dua jenis keberadaan amatlah penting, yaitu keberadaan yang sedang ada (KSA) dan keberadaan yang mungkin mengada (KMA). KSA terwujud dalam kesadaran seseorang, sedangkan KMA merupakan dunia kemungkinan. Jika KSA merupakan suatu titik yang sedang dijangkau oleh seseorang pada suatu saat, maka KMA merupakan daerah yang masih berada di luar jangkauannya, tetapi ada kemungkinan untuk dijangkaunya.
            Sesuatu yang berasal dari KMA dapat menjelma menjadi KSA, dan KSA dapat surut ke daerah keberadaan yang pernah ada (KPA). Adalah sangat dimungkinkan KPA muncul kembali ke dalam KSA. Untuk itu KPA terlebih dahulu masuk ke daerah KMA. Baik KSA maupun KMA mempunyai peluang dan keterbatasan. Didalam kekuasaan Tuhan Yang Maha Mencipta kesadaran manusia tentang peluang dan keterbatasan KSA bersifat manusiawi yang ditentukan oleh unsure-unsur ruang dan waktu serta unsur-unsur kondisional. Sedangkan peluang dan keterbatasan KMA bersifat “abadi”. Peluang dan keterbatasan KMA berada diluar jangkauan dan kemampuan manusia; semuanya itu sepenuhnya berada di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa.

C.    Gatra
            Keberadaan merupakan sesuatu yang penuh arti. Sesuatu yang penuh arti disebut gatra. Dalam dirinya sendiri gatra itu mengandung arti tertentu. Disamping itu, arti suatu gatra dapat pula diberikan dari luar, yaitu yang diberikan atau dibentuk oleh orang-orang yang berusaha menghayati dan / atau mendayagunakan gatra itu. Arti  dari dalam (ADD) suatu gatra bersifat amung dan demikianlah adanya (unik dan objektif), sedangkan arti yang diberikan dari luar (ADL) bersifat lentur.
            Meskipun ADD sudah ada dengan sendirinya di dalam gatra, namun ADD itu tidak selalu dengan sendirinya tampak atau menampilkan diri. Bahkan seringkali terjadi ADD justru tersembunyi dan menunggu pengungkapan itu memerlukan usaha dan amat tergantung pada pengetahuan, kemampuan, dan kemauan orang yang bersangkutan. Berbeda dengan ADD yang bersifat menetap itu, ADL dapat “dibawa” ke mana saja oleh si pemberi arti, sehingga terkesan bahwa ADL bersifat seperti karet, direntang bisa panjang, disingkat bisa pendek; diangkat bisa tinggi, dibatasi bisa rendah; digali bisa dalam, ditimbun bisa dangkal; dibelok-belokkan ke mana pun bisa. Seperti pengungkapan ADD, ADL pun amat tergantung pada pengetahuan, kemampuan dan kemauan orang yang member arti terhadap gatra yang dimaksudkan.
            Sifat keberadaan gatra adalah seperti sifat – sifat keberadaan benda pada umumnya. Ada yang “padat”, artinya bentuk dan isinya lebih pasti dan tidak mudah diubah; ada yang “cair”, artinya bentuk dan isinya mudah berubah; ada pula yang ibarat “gas” artinya bentuk, isi, dan kepadatannya amat mudah berubah, mengembang dan menguap. Demikian juga “warna” gatra. Ia dapat berwarna tunggal ataupun berwarna – warni bagai pelangi, ataupun kabur, buram, atau tanpa warna sama sekali.
            ADD dan ADL suatu gatra tidak selalu sama, melainkan justru seringkali tidak bersesuaian, bahkan bertentangan. Keserasian antara ADD dan ADL suatu gatra akan mewujudkan kesatuan, kebulatan dan kemantapan arti dari gatra yang dimaksudkan. Sebaliknya, jika keserasian antara ADD dan ADL timpang, atau bahkan bertentangan, maka akan terjadi kesalahartian dengan berbagai akibatnya.
            KSA (keberadaan yang sedang ada dalam sebuah gatra) yang ada pada diri klien dianalisis serta diberi suasana dan perlakuan – perlakuan khusus sehingga KMA (keberadaan yang mungkin ada dalam sebuah gatra) yang menguntungkan dan membahagiakan klien menjadi terwujud. Dengan penggatraan gatra dalam proses konseling itu klien dimungkinkan untuk berkembang menuju kemandiriannya.

D.    Hakekat Manusia
            Manusia adalah suatu keberadaan dalam alam semesta ini; sebuah gatra. Berbeda dari gatra-gatra lain yang bukan manusia, ADD dan ADL pada manusia dapat diberi ciri berikut:
1.      ADD sangat bervariasi antara individu yang satu dengan individu lainnya; individu dapat memahami ADD-nya sendiri.
2.      Selain dapat memberikan ADL kepada gatra-gatra di luar dirinya, manusia pun dapat memberikan ADL kepada dirinya sendiri.
3.      Antar sesama individu atau sekelompok manusia dapat saling memberikanADL.
4.      ADD dan ADL terhadap diri sendiri serta ADL dari luar diri sendiri terus menerus berinteraksi yang menghasilkan perkembangan pada diri individu.
                        Ciri-ciri ADD dan  ADL seperti itulah kiranya yang membedakan secara amat tajam antara manusia dan bukan manusia sebagai makhluk Tuhan. Lebih darimakhluk-makhluk lainnya, manusia adalah makhluk yang tertinggi derajatnya. Ketertinggian derajat ini diperlengkapi dengan lima dimensi kemanusiaan yang melekat pada diri setiap insan, yaitu:
1.      Dimensi fitrah (dimfit).
2.      Dimensi keindividualan (dimin).
3.      Dimensi kesosialan (dimsos).
4.      Dimesi kesusilaan (dimsus).
5.      Dimensi keberagaman (dimag).



E.     Asumsi  Perilaku Bermasalah
            Permasalahan yang dialami oleh seorang  individu terwujud di dalam tingkah lakunya. Ukuran kebermasalahannya tingkah laku individu diadu kepada nilai-norma- dan moral yang berlaku pada kehidupan sosio-budaya di lingkungannya. Memperhatikan dimensi 5x5x5 di atas, maka dapat diketahui bahwa akar dari permasalahan individu adalah kualitas pancadaya yang telah terkembangkan , likuladu, dan masidu, yaitu:
1.      Ketaqwaan yang terputus.
2.      Daya cipta yang lemah.
3.      Daya rasa yang tumpul.
4.       Daya karsa yang mandeg.
5.      Daya karya yang mandul.
6.      Gizi yang rendah.
7.      Pendidikan yang macet.
8.      Sikap dan perlakuan yang menolak dan kasar.
9.      Budaya yang terbelakang.
10.  Kondisi insidental yang merugikan.
11.   Rasa aman yang terancam.
12.  Kompetensi yang mentok.
13.   Aspirasi yang terkungkung.
14.  Semangat yang layu.
15.   Kesempatan yang terbuang.
                        Secara umum keadaan pancadaya, likuladu dan masidu yang tidak atauvkurang menguntungkan akan menimbulkan permaslahan pada diri individu.dari pad itu, pengaruh likuladu dan masidu bersifat lebih langsung daripada pancadaya dan lebih khusus lagi, pengaruh masidu lebih langsung daripada likuladu terhadap permasalahan individu.

F.     Permasalahan
1.    Kehidupan Efektif Sehari-hari (KES)
        Dikehendaki agar dengan HMM-nya yang difasilitasi oleh likuladu sebagaimana diharapkan, individu dapat berkeadaan poisitif, sejahtera dan bahagia. Keadaan demikian itu terwujud dalam kehidupan efektif sehari-hari (KES) dengan acuan BMB3 sebagai berikut :
a)      Berpikir,secara obyektif-defenitif, logis-sistematis, dinamis-teknologis, kritis-evaluatif,  dan kreatif-inovatif
b)      Merasa,secara lembut, kasih sayang, tenggang rasa, etis, dan ikhlas.
c)      Bersikap,secara postif, konstruktif, berprakarsa, mandiri, dan mengendalikan diri.
d)     Bertindak, dengan tujuan/sasaran, kompetensi, waktu/tempat/suasana, bentuk/isi kegiatan, dan produktivitas yag positif, tepat dan tinggi
e)      Bertanggungjawab,  kepada diri sendiri, lingkungan (sosial dan lainnya), atasan, ilmu/profesi, dan Tuhan Yang Maha Esa
        Kondisi KES dengan BMB3 positif itu ditunjang rasa aman, kompetensi, aspirasi, semangat, serta pemanfaatan kesempatan (masidu) yang tepat dan tinggi.

2.       Kehidupan Efektif Sehari-hari Terganggu
            KES adalah idaman setiap orang.Namun kenyataannnya tidak selalu demikian.Kondisi KES-T (kehidupan efektif sehari-hari terganggu) sering kali datang dan menimpa. Kondisi KES-T ini dapat berupa kesulitan atau permasalahan yang sepertinya menantang ketangguhan individu menghadapi gangguan dalam hidupnya, dan di sisi lain menguji betapa ia dapat mengendalikan diri dalam melawan hawa nafsu dan godaan setan yang terkutuk.
             Kesulitan ataupauntantangan tersebut tidak perlu dianggap sebagai hukuman atau azab dari Tuhan, melainkan pertama dapat dilihat sebagai buah dari hukum sebab-akibat (baik dalam diminesi natural maupun spiritual) yang sejak awalnya telah ditetapkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Di samping itu, penyikapan bahwa kesulitan dan permsalahan dalam bentuk KES-T itu dianggap sebagai cobaan atau ujian terhadap diri seseorang yang dapat diambil hikmahnya akan memperkuat keutuhan pribadi individu dengan aktualisasi HMM yang mantap.
            Apabila kondisi KES diwarnai oleh dinamika BMB3 dan masidu yang positif dan mantap seperti tersebut di atas, maka kondisi KES-T terkait dengan kualitas pengembanga pancadaya, likuladu dan masidu yang terganggu, yaitu :


         Ketakwaan yanterputus
         Daya cipta yang lemah
         Daya rasa yang tumpul
         Daya karsa yang mandeg
         Daya karya yang mandul
         Gizi yang rendah
         Sikap dan perlakuan yang   menolak dan kasar
         Pendidikan yang macet
         Budaya yang terbelakang
         Kondisi insdental yang merugikan
         Rasa aman yang terancam
         Kompetensi yang mentok
         Aspirasi yang terkungkung
         Semangat yang layu
         Kesempatan yang terbuang


G.    Tujuan Konseling
            Menurut Prayitno (1988: 21) Konseling pancawaskita mempunyai tujuan yaitu terbangunnya gatra baru melalui pengungkapan, analisis, pemaknaan secara tepat dan positif terhadap Arti Dari Dalam (ADD), Arti Dari Luar (ADL), Keberadaan yang Sedang Ada (KSA), serta pembinaan Keberadaan yang Sedang Ada (KSA) baru dengan memperhatikan Keberadaan yang Mungkin Ada (KMA) positif yang ada pada diri klien.
            Pelayanan konseling secara langsung terfokus kepada kemasan kehidudupan manusia (individu) berlandaskan kesejatian kemanusiaan (HMM) yang terarah kepada keberadaan, perkembangan dan kemajuan kehidupan yang optimal sesuai dengan zamannya dalam dimensi dunia dan akhirat. Fokus ini secara nyata terarah kepada terbinanya KES yang sedapt-dapatnya berkelanjutan dan tertanganinya KES-T setuntas mungkin.
            Pengembangan KES dan penanganan KES-T itu diselenggarakan dengan memperhatikan dan menegakkan seoptimal mungkin :
1.      pengembangan bagi aktualisasi HMM
2.      penyelenggaraan, fasilitasi dan penganan likuladu
3.       optimalisasi masidu poisitif
4.      energisasi pancadaya melalui dinamikia BMB3 tingkat tinggi, dan
5.        praktik professional yang mantap.

H.    Peran Konselor
            Dalam konseling eklektik konselor mengarahkan usahanya kepada berbagai aspek pada diri klien yang menjadi fokus penggarapan oleh penedekatan-pendekatan konseling yang berbeda. Prayitno (1988: 32) menjelaskan masalah klien yang mengemukakan dalam konseling dapat menyangkut satu atau lebih fokus beberapa pendekatan. Dalam proses investigasi dan interpretasi konselor dapat mengungkapkan fokus tersebut dengan sangkut paut Masidunya.
            Dengan teknik yang tepat, konselor menyelenggarakan intervensi untuk mendorong Masidu menjadi lebih positif. Lebih jauh, siswa diharapkan dapat memerdekakan dan membangun dirinya. Konselor dalam konseling pancawaskita mengarahkan usahanya kepada berbagai aspek pada diri siswa yang menjadi fokus penggarapan oleh pendekatan-pendekatan konseling seperti motivasi belajar rendah, dalam Masidu adalah semangat yang layu  dengan mengubah gatra lama menjadi gatra baru yaitu munculnya semangat dalam belajar yang tinggi. Dalam proses investigasi dan interpretasi konselor dapat mengungkap fokus tersebut dengan sangkut paut Masidunya dengan teknik yang tepat serta mendorong Masidu menjadi lebih positif lebih jauh klien diharapkan dapat memerdekakan dan membangun dirinya.

I.       Deskripsi  Proses Konseling 
            Proses konseling setiap kali dipenuhi dengan berbagai gatra, khususnya berkenaan dengan aspek-aspek tingkah laku klien yang menjadi fokus penanganan konseling. Gatra yang berupa tindakan yang salah suai (tindakan yang menyimpang), pola pikir tidak rasional, perasaan berdosa, tidak naik kelas, keadaan ditinggal pacar, misalnya merupakan gatra-gatra yang perlu mendapat perhatian penuh dalam konseling. Demikian pula gatra -gatra yang lebih bersifat positif, seperti mendapat juara kelas, IQ 130, berparas cantik, tidak pernah sakit keras, rajin sholat.
Dalam menyikapi dan menangani gatra-gatra tersebut yang harus dilakukan
a.        pertama – tama yang harus dilakukan oleh konselor adalah memandangnya sebagai sisi tertentu yang penuh arti dari diri klien, yang tidak boleh diabaikan begitu saja.
b.      Kedua, ADD gatra tersebut perlu dikaji sehingga terungkap dan disadari oleh klien, serta selanjutnya kepadanya diberikan ADL yang tepat dan positif sehingga semuanya bermakna cukup kuat bagi pengembangan kemandirian klien.
c.       Ketiga, terhadap KSA yang merupakan perwujudan gatra yang menjadi fokus konseling diberikan makna yang tepat dan positif dengan mengantisipasi KMA-nya.
d.      Keempat, pemaknaan KSA dengan mengantisipasi KMA-nya itu secara langsung mengarah kepada penampilan KSA baru sebagai realisasi KMA positif yang terkandung didalam gatra yang dimaksud.
e.       Kelima, dalam proses pengungkapan, analisis, pemaknaan dan pembinaan itu memungkinkan diterapkannya berbagai pendekatan dan teknik konseling.
                        Kelima langkah dalam konseling tersebut diatas merupakan proses penggatraan gatra melalui pendekatan konseling eklektik. Gatra-gatra (lama) yang semula muncul setelah diproses dalam konseling diubah atau dikembangkan menjadi gatra – gatra baru yang lebih menunjang kemandirian klien seperti:

Gatra Lama
Gatra Baru
         Tindakan salah suai

         Pola pikir tidak rasional
         Perasaan berdosa
         Tidak naik kelas


         Ditinggal pacar

         Juara kelas

         IQ 130
         Berparas cantik


         Tidak pernah sakit keras
         Rajin sholat
Tindakan yang lebih efektif dan efisien.
Pola pikir rasional.
Suasana bertobat.
Kemauan untuk belajar lebih keras, dikuasainya keterampilan belajar yang lebih efektif.
Sabar dan tawakal, lebih percaya diri.
Semangat bersaing secara sehat dalam belajar.
Lebih giat belajar.

Bersyukur kepada Tuhan YME, upaya meningkatkan femininitas lebih hati – hati menjaga diri.
Bersyukur dan lebih giat bekerja.
Lebih banyak berdo’a, bekerja dan beramal.

                        Paradigma penggatraan gatra itu menuntut keluasan wawasan, kedalaman dan ketajaman analisis gatra lama, serta ketepatan antisipasi dan pembinaan gatra baru. Sejalan dengan itu, pendekatan eklektik dalam proses konseling menuntut kedalaman dalam pemahaman berbagai teknik konseling dan penerapannya. Konselor sepenuhnya bertanggung jawab atas ke dua tuntutan tersebut. Tuntutan pertama menyangkut isi konseling, sedangkan tuntutan kedua berkenaan dengan metodologi konseling.
                        Konseling merupakan proses sinergik untuk mengoptimalkan energi pada diri klien dalam rangka pengembangan dan pemecahan masalah klien. Gatra – gatra yang ada pada saat memasuki dan menjalani konseling diproses menjadi gatra – gatra yang lebih positif kepada kualitas pancadaya dan likuladu. Konseling yang lengkap meliputi lima proses yaitu:
1.      Proses pengantaraan (introduction).
                        Proses pengantaraan ini mengantarkan klien memasuki kegiatan konseling dengan segenap pengertian, tujuan, dan asas yang menyertainya. Proses pengantaraan ini ditempuh melalui kegiatan penerimaan yang bersuasana hangat, permisif, dan KTPS (”klien tidak pernah salah”), serta penstrukturan. Apabila proses awal ini sukses, klien akan mampu menjalani proses konseling selanjutnya dengan hasil yang lebih menjanjikan.
2.      Proses penjajagan (investigation).
                        Proses penjajagan ini dapat diibaratkan sebagai membuka dan memasuki ruangan sumpek atau hutan belantara yang berisi gatra – gatra klien bersangkut – paut dengan perkembangan dan permasalahannya. Sasaran penjajagan adalah hal – hal yang dikemukakan klien dan hal – hal yang perlu dipahami tentang diri klien. Seluruh sasaran penjajagan ini adalah sebagai gatra yang selama ini terpendam, tersalahartikan dan / atau pun terhambat pengembangannya pada diri klien.
3.      Proses penafsiran (interpretation).
                        Apa yang terungkap melalui penjajagan merupakan berbagai gatra yang perlu diartikan. Gatra-gatra klien itu (yang cukup signifikan) perlu diketahui ADD-nya secara tepat dan diberikan ADL-nya secara positif, dinamis dan tepat pula. Gatra yang besar diurai menjadi gatra yang lebih kecil, sebaliknya sejumlah gatra dirangkum menjadi gatra yang lebih luas; gatra yang satu dikaitkan dan di lihat relevansinya dengn gatra atau gatra-gatra lainnya. Hasil proses penafsiran ini pada umumnya adalah aspek – aspek KSA dan KMA pada diri klien dengan jelas, tepat dan terjangkau segi – segi dinamikanya. Dalam rangka penafsiran ini, upaya diagnosis dan prognosis dapat memberikan manfaat yang berarti.
4.      Proses pembinaan (intervension)
                        Proses pembinaan ini secara langsung mengacu kepada pengentasan masalah dan pengembangan diri klien. Upaya pembinaan diarahkan bagi terwujudnya KMA yang telah dihasilkan melalui proses interpretasi. Arah dan sasaran jangka pendek dan langsung pembinaan adalah terkembangkannya masidu yang lebih memandirikan dan membahagiakan klien dan lingkungannya serta produktif. Dengan berbagai teknik khusus dalam konseling sasaran jangka pendek itu didorong pencapaiannya.
                        Lebih jauh, sedapat-dapatnya proses konseling hendaknya juga mampu menyentuh likuladu yang besar pengaruhnya terhadap kehidupan klien. Karena likuladu pada umumnya tidak dapat langsung terjangkau oleh proses konseling yang terwujud dalam pertemuan tatap muka antara klien dan konselor, maka pembinaan terhadap likuladu itu biasanya terlaksana melalui pendekatan ”politik”. Pembinaan terhadap masidu dan likuladu itu diharapkan juga meningkatkan pencadaya klien. Melalui pembinaan dalam konseling, gatra – gatra lama diproses menjadi gatra-gatra baru yang lebih memungkinkan berfungsinya energi pada diri klien secara optimal.
5.      Proses penilaian / pengembangan (inspection)
                        Upaya pembinaan melalui konseling diharapkan menghasilkan hal-hal ataupun perubahan yang berguna bagi klien, khususnya berkenaan dengan masidu. Lebih konkrit lagi, hasil-hasil tersebut hendaknya berapa meningkat dan semakin efektifnya wawasan, pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap bagi kehidupan klien dalam lingkungan lirahid. Kadar perubahan yang terjadi pada diri klien dapat diungkapkan atau dinilai segera menjelang akhirnya proses konseling, dalam jangka pendek beberapa hari kemudian, atau dalam jangka waktu yang lebih panjang.
                        Ketika proses konseling akan segera diakhiri, misalnya konselor dapat menanyakan kepada klien beberapa hal yang merupakan buah dari proses yang baru saja berlangsung, yaitu pengetahuan, atau informasi baru apa yang diperoleh klien, bagaimana perasaan klien (apakah tambah ringan, relaks, terbebas dari himpitan yang memberatkan atau menyesakkan, dan sebagainya) serta kegiatan apa yang akan dilakukan klien untuk menindaklanjuti hasil-hasil konseling yang telah tercapai. Sedangkan, penilaian pasca konseling yang lebih jauh, baik dalam jangka pendek (beberapa hari) maupun yang lebih panjang, mengacu kepada pemecahan masalah dan perkembangan klien secara lebih menyeluruh.
                        Setiap penilaian, baik diakhir proses konseling, jangka pendek maupun jangka panjang, perlu diikuti tindaklanjutnya demi keberhasilan klien yang lebih jauh. Tindak lanjut itu dapat mencegah perlu diadakannya konseling lanjutan, penerapan pendekatan dan teknik-teknik lain dalam proses konseling, ditampilkannya materi bahasan yang baru dan / atau lebih mendalam, dan nilai sebagainya, serta bila diperlukan tindak lanjut yang berupa alih tugas khusus.
Sasaran kelima proses itu adalah gatra-gatra yang ada pada diri individu (klien) berkenaan dengan tingkah lakunya yang bermasalah dengan segenap latar belakang dan sangkut pautnya.

J.      Teknik-Teknik
1.      Teknik umum meliputi pokok-pokok:
1)      Penerimaan terhadap klien (manklien).
2)      Sikap dan jarak duduk (sjduk).
3)       Kontak mata (konmat).
4)      Tiga M (mendengar dengan baik, memahami secara tepat, serta merespon secara tepat dan positif) (Tiga M).
5)      Kontak psikologis (konpsik).
6)      Penstrukturan (struk).
7)       Ajakan untuk berbicara (ajbir).
8)      Pertanyaan terbuka (tabuk).
9)      Refleksi: isi dari perasaan (ref).
10)   Keruntutan (runtut).
11)  Penyimpulan (pul).
12)  Penafsiran (afsir).
13)  Konfrontasi (fron).
14)  Ajakan untuk memikirkan sesuatu yang lain (kirlan).
15)  Peneguhan hasrat (husrat).
16)    “penfrustasian” klien (frus).
17)   Strategi “tidak memanfaatkan” klien (tmaf).
18)   Suasana diam (sudim).
19)  Tranferensi dan kontra-tranferensi (trans dan konstran).
20)  Teknik eksperimental (eksper).
21)  Interpretasi pengalaman masa lampau (imaslam).
22)  Asosiasi bebas (asbas).
23)  Sentuhan jasmaniah (senjas).
24)  Penilaian (lai).
25)  Penyusunan laporan (lap).

2.      Teknik khusus meliputi pokok-pokok:
1)      Pemberian informasi (inf).
2)      Pemberian contoh (con).
3)      Pemberian contoh pribadi (conpri).
4)      Perumusan tujuan (tuj).
5)      Latihan penenangan: sederhana dan penuh (tinang).
6)      Kesadaran tubuh (sadbuh).
7)      Disenstisisasi dan sensitisasi (desensit dan sensit).
8)      Kursi kosong (kurkos).
9)      Permainan peran dan permainan dialog (mairan dan mailog).
10)  Latihan keluguan (tilug).
11)  Latihan seksual (tisek).
12)  Latihan transaksional (sisran).
13)  Analisis gaya hidup (sisgahid).
14)  Kontrak (trak).
15)  Pemberian nasihat (nas).
                        Teknik-teknik tersebut dipilih dan ditetapkan sesuai dengan keunikan klien dengan masalah dan perkembangannya, sejak awal sampai diakhrinya proses konseling. Meskipun teknik-teknik tersebut pada umumnya dipergunakan dalam konseling perorangan namun banyak diantaranya yang cukup efektif bila dimanfaatkan dalam konseling kelompok.
                        Dalam konseling eklektik konselor mengarahkan usahanya kepada berbagai aspek pada diri klien yang menjadi fokus penggarapan oleh pendekatan-pendekatan konseling yang berbeda seperti:
1)      Mengangkat materi ketidak sadaran yang menyebabkan tingkah laku salah suai ke kesadaran (konseling psikoanalitik klasik).
2)      Memperkuat fungsi ego (konseling ego).
3)      Mengatasi inferioritas menuju superioritas (konseling psikologi individual).
4)      Mengembangkan transaksi yang sejajar, positif, dan produktif (konseling analisis transaksional).
5)      Memperkuat dan mengembangkan self (konseling self).
6)      Membangun integrasi kepribadian (konseling gestalt).
7)      Mengubah tingkah laku salah suai (konseling behavioral).
8)      Mengembangkan tingkah laku yang benar, bertanggung jawab, dan sesuai dengan kenyataan (konseling realitas).
9)      Mengganti belief irrational menjadi belief rational (konseling rasional-emotif).

SUMBER :
Prayitno. 1998. Konseling Pancawaskita. Padang : Universitas Negeri Padang.
Prayitno. 2009. Wawasan Profesional Konseling. Padang: Universitas Negeri Padang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TEORI PERKEMBANGAN KARIR: KRUMBOLTZ SERTA APLIKASINYA

Jumadi Mori Salam Tuasikal, M.Pd A.    Konsep Dasar             Jika kita bicara mengenai bimbingan karir melalui pendekatan pemilihan...