Oleh: Jumadi Tuasikal
A.
Konsep Dasar
Konseling Pancawaskita disingkat
(KOPASTA). Konseling Pancawaskita merupakan salah satu bentuk pendekatan
dalam konseling dengan memadupadankan teori konseling
(Eklektik). Kopasta menitik beratkan pada wawasan Pancawaskita. Pancawaskita
mengintegrasikan lima faktor yang mempengaruhi individu yaitu:
1.
Pancasila.
2.
Lirahid
(lima ranah kehidupan)
3.
Panca
daya ( Takwa, Cipta, Rasa, Karsa, Karya)
4.
Masidu
(lima kondisi yang ada pada diri individu) yang terdiri dari (rasa aman,
kompetensi, aspirasi, semangat, pengunaan kesempatan)
5.
Likuladu
(lima kekuatan di luar individu) yang terdiri dari (gizi, pendidikan, sikap,
perlakuan orang lain, budaya dan kondisi insidensial)
Dalam sejarahnya KOPASTA
dikembangkan sebagai salah satu pendekatan yang dilakukan dalam pelaksanaan
konseling perorangan, para konselor diharapkan dapat menguasai pendekatan ini
sebagai salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam penyelenggaraan
konseling perorangan. Konselor profesional dituntut mengintegrasikan lima
faktor yang mempengaruhi perkembangan dan kehidupan individu yaitu pancasila,
pancadaya ( Takwa, Cipta, Rasa, Karsa, Karya), lirahid/ lima ranah
kehidupan ( Jasmanah-rohaniah, social-material, Spiritual dunia, akherat,
lokal-global/universal), lika lidu/ lima kekuatan di luar individu( gizi,
pendidikan, sikap, perlakuan orang lain, budaya dan kondisi insidensial) , dan
masidu/lima kondisi yang ada pada diri individu( rasa aman, kompetensi,
aspirasi, semangat, pengunaan kesempatan). Pengaruh faktor-faktor tersebut
perlu diperhatikan secara cermat dan dilakukan pembinaan melalui konseling
sehingga perkembangan dan kehidupan individu menjadi lebih membahagiakan.
Kebahagan ini akan menjelma melalui kehidupan individu yang mandiri
Ditilik dari isinya
konseling merupakan proses membangun pribadi yang mandiri. Sebelum seorang
konselor membangun hal itu, terlebih dahulu ia perlu membangun pribadinya yang
mandiri terlebih dahulu. Konselor yang mandiri itu akan mampu dari segi
teknis dan psikologisnya menyelenggarakan konseling eklektik dengan wawasan
pancawaskita. Waskita merupakan sifat yang terpancar dari kiat dan kinerja yang
penuh dengan keunggulan semangat disertai dengan :
1.
Kecerdasan, bahwa konseling adalah
pekerjaan yang diselenggarakan atas dasar teori dan teknologi yang tinggi serta
pertimbangan akal yang
jernih, matang dan kreatif.
2.
Kekuatan, bahwa konselor adalah pribadi yang tangguh baik
dalam keluasan dan kedalaman wawasan berfikirnya, pengetahuan serta keterampilannya, maupun
dalam kemauan dan ketekunannya dalammelayani kliennya.
3.
Keterarahan, bahwa kegiatan konseling
berorientasi kepada keberhasilan klien mengoptimalkan perkembangan dirinya dan
mengatasi permasalahanya.
4.
Ketelitian, bahwa konselor bekerja
dengan cermat dan hati-hati serta berdasarkan data dalam memilih dan menerapkan
teori dan teknologi konseling.
5.
Kearif bijaksanaan, bahwa konselor
dalam menyikapi dan bertindak didasarkan pada peninjauan dan pertimbangan yang
matang, kelembutan dan kesantunan terhadap klien dan orang lain pada umumnya
sesuai dengan nilai moral dan norma-norma yang berlaku serta kode etik
konseling.
Itulah panca waskita
, kewaskitaan yang didalamnya terkandung lima faktor yang akan menjadi
andalan bagi keberhasilan seorang konselor.
B.
Hakekat
Keberadaan
Dunia dan alam semesta dipenuhi oleh
serba keberadaan. Sebutlah sesuatu, maka sesuatu itu adalah sebuah keberadaan.
Keberadaan terbentang dari yang paling kasat mata dan teraba (konkrit) sampai
yang paling khayal dan termaya (abstrak) serta gaib; dari yang paling besar
sampai yang paling kecil, dari yang paling sederhana sampai yang tak terhingga,
dan dari yang ada sampai tidak ada.
Dalam
kedinamisan keberadaan sepanjang zaman, dua jenis keberadaan amatlah penting,
yaitu keberadaan yang sedang ada (KSA) dan keberadaan yang mungkin mengada
(KMA). KSA terwujud dalam kesadaran seseorang, sedangkan KMA merupakan dunia
kemungkinan. Jika KSA merupakan suatu titik yang sedang dijangkau oleh
seseorang pada suatu saat, maka KMA merupakan daerah yang masih berada di luar
jangkauannya, tetapi ada kemungkinan untuk dijangkaunya.
Sesuatu
yang berasal dari KMA dapat menjelma menjadi KSA, dan KSA dapat surut ke daerah
keberadaan yang pernah ada (KPA). Adalah sangat dimungkinkan KPA muncul kembali
ke dalam KSA. Untuk itu KPA terlebih dahulu masuk ke daerah KMA. Baik KSA
maupun KMA mempunyai peluang dan keterbatasan. Didalam kekuasaan Tuhan Yang
Maha Mencipta kesadaran manusia tentang peluang dan keterbatasan KSA bersifat
manusiawi yang ditentukan oleh unsure-unsur ruang dan waktu serta unsur-unsur
kondisional. Sedangkan peluang dan keterbatasan KMA bersifat “abadi”. Peluang
dan keterbatasan KMA berada diluar jangkauan dan kemampuan manusia; semuanya
itu sepenuhnya berada di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa.
C.
Gatra
Keberadaan merupakan sesuatu yang
penuh arti. Sesuatu yang penuh arti disebut gatra. Dalam dirinya sendiri gatra
itu mengandung arti tertentu. Disamping itu, arti suatu gatra dapat pula
diberikan dari luar, yaitu yang diberikan atau dibentuk oleh orang-orang yang
berusaha menghayati dan / atau mendayagunakan gatra itu. Arti dari
dalam (ADD) suatu gatra bersifat amung dan demikianlah adanya (unik dan
objektif), sedangkan arti yang diberikan dari luar (ADL) bersifat lentur.
Meskipun
ADD sudah ada dengan sendirinya di dalam gatra, namun ADD itu tidak selalu
dengan sendirinya tampak atau menampilkan diri. Bahkan seringkali terjadi ADD
justru tersembunyi dan menunggu pengungkapan itu memerlukan usaha dan amat
tergantung pada pengetahuan, kemampuan, dan kemauan orang yang bersangkutan.
Berbeda dengan ADD yang bersifat menetap itu, ADL dapat “dibawa” ke mana saja
oleh si pemberi arti, sehingga terkesan bahwa ADL bersifat seperti karet,
direntang bisa panjang, disingkat bisa pendek; diangkat bisa tinggi, dibatasi
bisa rendah; digali bisa dalam, ditimbun bisa dangkal; dibelok-belokkan ke mana
pun bisa. Seperti pengungkapan ADD, ADL pun amat tergantung pada pengetahuan,
kemampuan dan kemauan orang yang member arti terhadap gatra yang dimaksudkan.
Sifat
keberadaan gatra adalah seperti sifat – sifat keberadaan benda pada umumnya.
Ada yang “padat”, artinya bentuk dan isinya lebih pasti dan tidak mudah diubah;
ada yang “cair”, artinya bentuk dan isinya mudah berubah; ada pula yang ibarat
“gas” artinya bentuk, isi, dan kepadatannya amat mudah berubah, mengembang dan
menguap. Demikian juga “warna” gatra. Ia dapat berwarna tunggal ataupun
berwarna – warni bagai pelangi, ataupun kabur, buram, atau tanpa warna sama
sekali.
ADD
dan ADL suatu gatra tidak selalu sama, melainkan justru seringkali tidak
bersesuaian, bahkan bertentangan. Keserasian antara ADD dan ADL suatu gatra
akan mewujudkan kesatuan, kebulatan dan kemantapan arti dari gatra yang
dimaksudkan. Sebaliknya, jika keserasian antara ADD dan ADL timpang, atau
bahkan bertentangan, maka akan terjadi kesalahartian dengan berbagai akibatnya.
KSA
(keberadaan yang sedang ada dalam sebuah gatra) yang ada pada diri klien
dianalisis serta diberi suasana dan perlakuan – perlakuan khusus sehingga KMA
(keberadaan yang mungkin ada dalam sebuah gatra) yang menguntungkan dan
membahagiakan klien menjadi terwujud. Dengan penggatraan gatra dalam proses
konseling itu klien dimungkinkan untuk berkembang menuju kemandiriannya.
D.
Hakekat Manusia
Manusia adalah suatu keberadaan dalam
alam semesta ini; sebuah gatra. Berbeda dari gatra-gatra lain yang bukan
manusia, ADD dan ADL pada manusia dapat diberi ciri berikut:
1.
ADD sangat bervariasi antara individu
yang satu dengan individu lainnya; individu dapat memahami ADD-nya sendiri.
2.
Selain dapat memberikan ADL kepada
gatra-gatra di luar dirinya, manusia pun dapat memberikan ADL kepada dirinya
sendiri.
3.
Antar sesama individu atau sekelompok
manusia dapat saling memberikanADL.
4.
ADD dan ADL terhadap diri sendiri serta
ADL dari luar diri sendiri terus menerus berinteraksi yang menghasilkan
perkembangan pada diri individu.
Ciri-ciri
ADD dan ADL seperti itulah kiranya yang membedakan secara amat tajam
antara manusia dan bukan manusia sebagai makhluk Tuhan. Lebih darimakhluk-makhluk
lainnya, manusia adalah makhluk yang tertinggi derajatnya. Ketertinggian
derajat ini diperlengkapi dengan lima dimensi kemanusiaan yang melekat pada
diri setiap insan, yaitu:
1.
Dimensi fitrah (dimfit).
2.
Dimensi keindividualan (dimin).
3.
Dimensi kesosialan (dimsos).
4.
Dimesi kesusilaan (dimsus).
5.
Dimensi keberagaman (dimag).
E.
Asumsi Perilaku
Bermasalah
Permasalahan yang dialami oleh
seorang individu terwujud di dalam tingkah lakunya. Ukuran
kebermasalahannya tingkah laku individu diadu kepada nilai-norma- dan moral
yang berlaku pada kehidupan sosio-budaya di lingkungannya. Memperhatikan
dimensi 5x5x5 di atas, maka dapat diketahui bahwa akar dari permasalahan
individu adalah kualitas pancadaya yang telah terkembangkan , likuladu, dan
masidu, yaitu:
1.
Ketaqwaan yang terputus.
2.
Daya cipta yang
lemah.
3.
Daya rasa yang
tumpul.
4.
Daya karsa yang
mandeg.
5.
Daya karya yang
mandul.
6.
Gizi yang rendah.
7.
Pendidikan yang macet.
8.
Sikap dan perlakuan yang
menolak dan kasar.
9.
Budaya yang terbelakang.
10.
Kondisi
insidental yang
merugikan.
11.
Rasa
aman yang terancam.
12.
Kompetensi yang mentok.
13.
Aspirasi yang
terkungkung.
14.
Semangat yang layu.
15.
Kesempatan yang
terbuang.
Secara umum keadaan pancadaya, likuladu dan
masidu yang tidak atauvkurang
menguntungkan akan menimbulkan permaslahan pada diri individu.dari pad itu,
pengaruh likuladu dan masidu bersifat lebih langsung daripada pancadaya dan
lebih khusus lagi, pengaruh masidu lebih langsung daripada likuladu
terhadap permasalahan individu.
F. Permasalahan
1.
Kehidupan
Efektif Sehari-hari (KES)
Dikehendaki agar dengan HMM-nya yang difasilitasi oleh likuladu
sebagaimana diharapkan, individu dapat berkeadaan poisitif, sejahtera dan
bahagia. Keadaan demikian itu terwujud dalam kehidupan efektif sehari-hari
(KES) dengan acuan BMB3 sebagai berikut :
a)
Berpikir,secara obyektif-defenitif, logis-sistematis, dinamis-teknologis,
kritis-evaluatif, dan kreatif-inovatif
b)
Merasa,secara lembut, kasih sayang, tenggang rasa, etis, dan ikhlas.
c)
Bersikap,secara postif, konstruktif, berprakarsa, mandiri, dan mengendalikan
diri.
d)
Bertindak, dengan tujuan/sasaran, kompetensi, waktu/tempat/suasana,
bentuk/isi kegiatan, dan produktivitas yag positif, tepat dan tinggi
e)
Bertanggungjawab, kepada diri sendiri, lingkungan (sosial
dan lainnya), atasan, ilmu/profesi, dan Tuhan Yang Maha Esa
Kondisi KES dengan BMB3 positif itu
ditunjang rasa aman, kompetensi, aspirasi, semangat, serta pemanfaatan
kesempatan (masidu) yang tepat dan tinggi.
2. Kehidupan Efektif Sehari-hari Terganggu
KES adalah idaman setiap
orang.Namun kenyataannnya tidak selalu demikian.Kondisi KES-T (kehidupan
efektif sehari-hari terganggu) sering kali datang dan menimpa. Kondisi KES-T
ini dapat berupa kesulitan atau permasalahan yang sepertinya menantang
ketangguhan individu menghadapi gangguan dalam hidupnya, dan di sisi lain
menguji betapa ia dapat mengendalikan diri dalam melawan hawa nafsu dan godaan
setan yang terkutuk.
Kesulitan ataupauntantangan tersebut tidak
perlu dianggap sebagai hukuman atau azab dari Tuhan, melainkan pertama dapat
dilihat sebagai buah dari hukum sebab-akibat (baik dalam diminesi natural
maupun spiritual) yang sejak awalnya telah ditetapkan oleh Tuhan Yang Maha
Kuasa. Di samping itu, penyikapan bahwa kesulitan dan permsalahan dalam bentuk
KES-T itu dianggap sebagai cobaan atau ujian terhadap diri seseorang yang dapat
diambil hikmahnya akan memperkuat keutuhan pribadi individu dengan aktualisasi
HMM yang mantap.
Apabila
kondisi KES diwarnai oleh dinamika BMB3 dan masidu yang positif dan mantap
seperti tersebut di atas, maka kondisi KES-T terkait dengan kualitas
pengembanga pancadaya, likuladu dan masidu yang terganggu, yaitu :
Ketakwaan yang terputus
Daya cipta yang lemah
Daya rasa yang tumpul
Daya karsa yang mandeg
Daya karya yang mandul
Gizi yang rendah
Sikap dan perlakuan yang menolak dan kasar
Pendidikan yang macet
|
Budaya yang terbelakang
Kondisi insdental yang merugikan
Rasa aman yang terancam
Kompetensi yang mentok
Aspirasi yang terkungkung
Semangat yang layu
Kesempatan yang terbuang
|
G.
Tujuan
Konseling
Menurut
Prayitno (1988: 21) Konseling pancawaskita mempunyai tujuan yaitu terbangunnya
gatra baru melalui pengungkapan, analisis, pemaknaan secara tepat dan positif
terhadap Arti Dari Dalam (ADD), Arti Dari Luar (ADL), Keberadaan yang Sedang
Ada (KSA), serta pembinaan Keberadaan yang Sedang Ada (KSA) baru dengan
memperhatikan Keberadaan yang Mungkin Ada (KMA) positif yang ada pada diri
klien.
Pelayanan
konseling secara langsung terfokus kepada kemasan kehidudupan manusia
(individu) berlandaskan kesejatian kemanusiaan (HMM) yang terarah kepada
keberadaan, perkembangan dan kemajuan kehidupan yang optimal sesuai dengan
zamannya dalam dimensi dunia dan akhirat. Fokus ini secara nyata terarah kepada
terbinanya KES yang sedapt-dapatnya berkelanjutan dan tertanganinya KES-T
setuntas mungkin.
Pengembangan KES dan penanganan KES-T itu diselenggarakan
dengan memperhatikan dan menegakkan seoptimal mungkin :
1.
pengembangan bagi aktualisasi HMM
2.
penyelenggaraan, fasilitasi dan penganan likuladu
3.
optimalisasi masidu poisitif
4.
energisasi pancadaya melalui dinamikia BMB3 tingkat tinggi, dan
5.
praktik professional yang mantap.
H.
Peran
Konselor
Dalam konseling
eklektik konselor mengarahkan usahanya kepada berbagai aspek pada diri klien
yang menjadi fokus penggarapan oleh penedekatan-pendekatan konseling yang
berbeda. Prayitno (1988: 32) menjelaskan masalah klien yang mengemukakan dalam
konseling dapat menyangkut satu atau lebih fokus beberapa pendekatan. Dalam
proses investigasi dan interpretasi konselor dapat mengungkapkan fokus tersebut
dengan sangkut paut Masidunya.
Dengan teknik yang tepat, konselor
menyelenggarakan intervensi untuk mendorong Masidu menjadi lebih
positif. Lebih jauh, siswa diharapkan dapat memerdekakan dan membangun
dirinya. Konselor dalam konseling pancawaskita mengarahkan usahanya kepada
berbagai aspek pada diri siswa yang menjadi fokus penggarapan oleh
pendekatan-pendekatan konseling seperti motivasi belajar rendah, dalam Masidu adalah
semangat yang layu dengan mengubah gatra lama menjadi gatra baru
yaitu munculnya semangat dalam belajar yang tinggi. Dalam proses investigasi
dan interpretasi konselor dapat mengungkap fokus tersebut dengan sangkut paut
Masidunya dengan teknik yang tepat serta mendorong Masidu menjadi
lebih positif lebih jauh klien diharapkan dapat memerdekakan dan membangun
dirinya.
I.
Deskripsi Proses Konseling
Proses konseling setiap kali
dipenuhi dengan berbagai gatra, khususnya berkenaan dengan aspek-aspek tingkah
laku klien yang menjadi fokus penanganan konseling. Gatra yang berupa tindakan
yang salah suai (tindakan yang menyimpang), pola pikir tidak rasional, perasaan
berdosa, tidak naik kelas, keadaan ditinggal pacar, misalnya merupakan gatra-gatra
yang perlu mendapat perhatian penuh dalam konseling. Demikian pula
gatra -gatra yang lebih bersifat positif, seperti mendapat juara kelas, IQ 130,
berparas cantik, tidak pernah sakit keras, rajin sholat.
Dalam menyikapi
dan menangani gatra-gatra tersebut yang harus dilakukan
a.
pertama – tama yang harus
dilakukan oleh konselor adalah memandangnya sebagai sisi tertentu yang penuh
arti dari diri klien, yang tidak boleh diabaikan begitu saja.
b.
Kedua, ADD gatra tersebut perlu dikaji
sehingga terungkap dan disadari oleh klien, serta selanjutnya kepadanya
diberikan ADL yang tepat dan positif sehingga semuanya bermakna cukup kuat bagi
pengembangan kemandirian klien.
c.
Ketiga, terhadap KSA yang merupakan
perwujudan gatra yang menjadi fokus konseling diberikan makna yang tepat dan
positif dengan mengantisipasi KMA-nya.
d.
Keempat, pemaknaan KSA dengan
mengantisipasi KMA-nya itu secara langsung mengarah kepada penampilan KSA baru
sebagai realisasi KMA positif yang terkandung didalam gatra yang dimaksud.
e.
Kelima, dalam proses pengungkapan,
analisis, pemaknaan dan pembinaan itu memungkinkan diterapkannya berbagai
pendekatan dan teknik konseling.
Kelima langkah dalam
konseling tersebut diatas merupakan proses penggatraan gatra melalui pendekatan
konseling eklektik. Gatra-gatra (lama) yang semula muncul setelah diproses
dalam konseling diubah atau dikembangkan menjadi gatra – gatra baru yang lebih
menunjang kemandirian klien seperti:
Gatra Lama
|
Gatra Baru
|
Tindakan
salah suai
Pola
pikir tidak rasional
Perasaan
berdosa
Tidak
naik kelas
Ditinggal
pacar
Juara
kelas
IQ
130
Berparas
cantik
Tidak
pernah sakit keras
Rajin
sholat
|
Tindakan yang lebih efektif dan efisien.
Pola pikir rasional.
Suasana bertobat.
Kemauan untuk belajar lebih keras, dikuasainya
keterampilan belajar yang lebih efektif.
Sabar dan tawakal, lebih percaya diri.
Semangat bersaing secara sehat dalam belajar.
Lebih giat belajar.
Bersyukur kepada Tuhan YME, upaya meningkatkan
femininitas lebih hati – hati menjaga diri.
Bersyukur dan lebih giat bekerja.
Lebih banyak berdo’a, bekerja dan beramal.
|
Paradigma penggatraan
gatra itu menuntut keluasan wawasan, kedalaman dan ketajaman analisis gatra
lama, serta ketepatan antisipasi dan pembinaan gatra baru. Sejalan dengan itu,
pendekatan eklektik dalam proses konseling menuntut kedalaman dalam pemahaman berbagai
teknik konseling dan penerapannya. Konselor sepenuhnya bertanggung jawab atas
ke dua tuntutan tersebut. Tuntutan pertama menyangkut isi konseling, sedangkan
tuntutan kedua berkenaan dengan metodologi konseling.
Konseling merupakan
proses sinergik untuk mengoptimalkan energi pada diri klien dalam rangka
pengembangan dan pemecahan masalah klien. Gatra – gatra yang ada pada saat
memasuki dan menjalani konseling diproses menjadi gatra – gatra yang lebih
positif kepada kualitas pancadaya dan likuladu. Konseling yang lengkap
meliputi lima proses yaitu:
1.
Proses pengantaraan (introduction).
Proses pengantaraan ini
mengantarkan klien memasuki kegiatan konseling dengan segenap pengertian,
tujuan, dan asas yang menyertainya. Proses pengantaraan ini ditempuh melalui
kegiatan penerimaan yang bersuasana hangat, permisif, dan KTPS (”klien tidak
pernah salah”), serta penstrukturan. Apabila proses awal ini sukses, klien akan
mampu menjalani proses konseling selanjutnya dengan hasil yang lebih
menjanjikan.
2.
Proses penjajagan (investigation).
Proses penjajagan ini
dapat diibaratkan sebagai membuka dan memasuki ruangan sumpek atau hutan
belantara yang berisi gatra – gatra klien bersangkut – paut dengan perkembangan
dan permasalahannya. Sasaran penjajagan adalah hal – hal yang dikemukakan klien
dan hal – hal yang perlu dipahami tentang diri klien. Seluruh sasaran
penjajagan ini adalah sebagai gatra yang selama ini terpendam, tersalahartikan
dan / atau pun terhambat pengembangannya pada diri klien.
3.
Proses penafsiran (interpretation).
Apa yang terungkap
melalui penjajagan merupakan berbagai gatra yang perlu diartikan. Gatra-gatra
klien itu (yang cukup signifikan) perlu diketahui ADD-nya secara tepat dan
diberikan ADL-nya secara positif, dinamis dan tepat pula. Gatra yang besar
diurai menjadi gatra yang lebih kecil, sebaliknya sejumlah gatra dirangkum
menjadi gatra yang lebih luas; gatra yang satu dikaitkan dan di lihat
relevansinya dengn gatra atau gatra-gatra lainnya. Hasil proses penafsiran ini
pada umumnya adalah aspek – aspek KSA dan KMA pada diri klien dengan jelas,
tepat dan terjangkau segi – segi dinamikanya. Dalam rangka penafsiran ini,
upaya diagnosis dan prognosis dapat memberikan manfaat yang berarti.
4.
Proses pembinaan (intervension)
Proses pembinaan ini
secara langsung mengacu kepada pengentasan masalah dan pengembangan diri klien.
Upaya pembinaan diarahkan bagi terwujudnya KMA yang telah dihasilkan melalui
proses interpretasi. Arah dan sasaran jangka pendek dan langsung pembinaan
adalah terkembangkannya masidu yang lebih memandirikan dan membahagiakan klien
dan lingkungannya serta produktif. Dengan berbagai teknik khusus dalam
konseling sasaran jangka pendek itu didorong pencapaiannya.
Lebih jauh, sedapat-dapatnya
proses konseling hendaknya juga mampu menyentuh likuladu yang besar pengaruhnya
terhadap kehidupan klien. Karena likuladu pada umumnya tidak dapat langsung
terjangkau oleh proses konseling yang terwujud dalam pertemuan tatap muka
antara klien dan konselor, maka pembinaan terhadap likuladu itu biasanya
terlaksana melalui pendekatan ”politik”. Pembinaan terhadap masidu dan likuladu
itu diharapkan juga meningkatkan pencadaya klien. Melalui pembinaan dalam
konseling, gatra – gatra lama diproses menjadi gatra-gatra baru yang lebih
memungkinkan berfungsinya energi pada diri klien secara optimal.
5.
Proses penilaian / pengembangan
(inspection)
Upaya pembinaan melalui
konseling diharapkan menghasilkan hal-hal ataupun perubahan yang berguna bagi
klien, khususnya berkenaan dengan masidu. Lebih konkrit lagi, hasil-hasil
tersebut hendaknya berapa meningkat dan semakin efektifnya wawasan,
pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap bagi kehidupan klien dalam
lingkungan lirahid. Kadar perubahan yang terjadi pada diri klien dapat
diungkapkan atau dinilai segera menjelang akhirnya proses konseling, dalam
jangka pendek beberapa hari kemudian, atau dalam jangka waktu yang lebih
panjang.
Ketika proses konseling
akan segera diakhiri, misalnya konselor dapat menanyakan kepada klien beberapa
hal yang merupakan buah dari proses yang baru saja berlangsung, yaitu
pengetahuan, atau informasi baru apa yang diperoleh klien, bagaimana perasaan
klien (apakah tambah ringan, relaks, terbebas dari himpitan yang memberatkan
atau menyesakkan, dan sebagainya) serta kegiatan apa yang akan dilakukan klien
untuk menindaklanjuti hasil-hasil konseling yang telah tercapai. Sedangkan,
penilaian pasca konseling yang lebih jauh, baik dalam jangka pendek (beberapa
hari) maupun yang lebih panjang, mengacu kepada pemecahan masalah dan
perkembangan klien secara lebih menyeluruh.
Setiap penilaian, baik
diakhir proses konseling, jangka pendek maupun jangka panjang, perlu diikuti
tindaklanjutnya demi keberhasilan klien yang lebih jauh. Tindak lanjut itu
dapat mencegah perlu diadakannya konseling lanjutan, penerapan pendekatan dan
teknik-teknik lain dalam proses konseling, ditampilkannya materi bahasan yang
baru dan / atau lebih mendalam, dan nilai sebagainya, serta bila diperlukan
tindak lanjut yang berupa alih tugas khusus.
Sasaran kelima
proses itu adalah gatra-gatra yang ada pada diri individu (klien) berkenaan
dengan tingkah lakunya yang bermasalah dengan segenap latar belakang dan
sangkut pautnya.
J. Teknik-Teknik
1. Teknik umum meliputi pokok-pokok:
1) Penerimaan terhadap klien (manklien).
2) Sikap dan jarak duduk (sjduk).
3) Kontak mata (konmat).
4) Tiga M (mendengar dengan baik,
memahami secara tepat, serta merespon secara tepat dan positif) (Tiga
M).
5) Kontak psikologis (konpsik).
6) Penstrukturan (struk).
7) Ajakan untuk berbicara (ajbir).
8) Pertanyaan terbuka (tabuk).
9) Refleksi: isi dari perasaan (ref).
10) Keruntutan (runtut).
11) Penyimpulan (pul).
12) Penafsiran (afsir).
13) Konfrontasi (fron).
14) Ajakan untuk memikirkan sesuatu yang
lain (kirlan).
15) Peneguhan hasrat (husrat).
16) “penfrustasian”
klien (frus).
17) Strategi “tidak memanfaatkan”
klien (tmaf).
18) Suasana diam (sudim).
19) Tranferensi dan
kontra-tranferensi (trans dan konstran).
20) Teknik eksperimental (eksper).
21) Interpretasi pengalaman masa
lampau (imaslam).
22) Asosiasi bebas (asbas).
23) Sentuhan jasmaniah (senjas).
24) Penilaian (lai).
25) Penyusunan laporan (lap).
2.
Teknik
khusus meliputi pokok-pokok:
1)
Pemberian
informasi (inf).
2)
Pemberian
contoh (con).
3)
Pemberian
contoh pribadi (conpri).
4)
Perumusan
tujuan (tuj).
5)
Latihan
penenangan: sederhana dan penuh (tinang).
6)
Kesadaran
tubuh (sadbuh).
7)
Disenstisisasi
dan sensitisasi (desensit dan sensit).
8)
Kursi
kosong (kurkos).
9)
Permainan
peran dan permainan dialog (mairan dan mailog).
10)
Latihan
keluguan (tilug).
11)
Latihan
seksual (tisek).
12)
Latihan
transaksional (sisran).
13)
Analisis
gaya hidup (sisgahid).
14)
Kontrak (trak).
15)
Pemberian
nasihat (nas).
Teknik-teknik tersebut
dipilih dan ditetapkan sesuai dengan keunikan klien dengan masalah dan
perkembangannya, sejak awal sampai diakhrinya proses konseling. Meskipun
teknik-teknik tersebut pada umumnya dipergunakan dalam konseling perorangan
namun banyak diantaranya yang cukup efektif bila dimanfaatkan dalam konseling
kelompok.
Dalam konseling eklektik
konselor mengarahkan usahanya kepada berbagai aspek pada diri klien yang
menjadi fokus penggarapan oleh pendekatan-pendekatan konseling yang berbeda
seperti:
1)
Mengangkat
materi ketidak sadaran yang menyebabkan tingkah laku salah suai ke
kesadaran (konseling psikoanalitik klasik).
3)
Mengatasi
inferioritas menuju superioritas (konseling psikologi individual).
4)
Mengembangkan
transaksi yang sejajar, positif, dan produktif (konseling analisis
transaksional).
5)
Memperkuat
dan mengembangkan self (konseling self).
6)
Membangun
integrasi kepribadian (konseling gestalt).
7)
Mengubah
tingkah laku salah suai (konseling behavioral).
8)
Mengembangkan
tingkah laku yang benar, bertanggung jawab, dan sesuai dengan kenyataan (konseling
realitas).
9)
Mengganti
belief irrational menjadi belief rational (konseling rasional-emotif).
SUMBER :
Prayitno.
1998. Konseling Pancawaskita. Padang : Universitas Negeri Padang.
Prayitno.
2009. Wawasan Profesional
Konseling. Padang: Universitas Negeri Padang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar