Rabu, Maret 23

KONSELING LINTAS BUDAYA

Jumadi Mori Salam Tuasikal, M.Pd
A.    
Pengertian Dan Makna
Dalam konseling lintas budaya, budaya atau kebudayaan (culture) meliputi tradisi, kebiasaan, nilai-nilai, norma, bahasa, keyakinan dan berpikir yang telah terpola dalam suatu masyarakat dan diwariskan dari generasi ke generasi serta memberikan identitas pada komunitas pendukungnya (Prosser, 1978). Secara singkat dapat pula diartikan bahwa budaya adalah pandangan hidup sekelompok orang (Berry, dkk.,1998), atau dalam rumusan yang lebih umum adalah “cara kita hidup seperti ini”, the way we are, yang diekspresikan dalam cara (sekelompok orang) berpikir, mempersepsikan, menilai, dan bertindak. Kata “sekelompok orang” (a group of people) perlu digaris bawahi untuk menunjukkan bahwa budaya selalu menunjukkan pada ciri-ciri yang melekat pada kelompok, tidak pada (seseorang) individu.
Definisi-definisi awal tentang lintas budaya cenderung untuk menekankan pada ras, etnisitas, dan sebagainya; sedangkan para teoretisi mutakhir cenderung untuk mendefinisikan lintas budaya terbatas pada variabelvariabelnya (Sue dan Sue, 1990). Adapun yang dimaksud dengan konseling lintas budaya (cross-cultural counseling, counseling across cultures, multicultural counseling) adalah konseling yang melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya (cultural biases) pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif (Anak Agung Ngurah Adhiputra, 2013). Namun, argumen-argumen yang lain menyatakan, bahwa lintas budaya harus melingkupi pula seluruh bidang dari kelompok-kelompok yang tertindas, bukan hanya orang kulit berwarna, dikarenakan yang tertindas itu dapat berupa gender, kelas, agama, keterbelakangan, bahasa, orientasi seksual, dan usia (Trickett, Watts, dan Birman, 1994; Arrendondo, Psalti, dan Cella, 1993; Pedersen, 1991).
Dilihat dari sisi identitas budaya, konseling lintas budaya merupakan hubungan konseling pada budaya yang berbeda antara konselor dengan konseli. Burn (1992) menjelaskan cross cultural counseling is the process of counseling individuals who are of different culture/cultures than that of the therapist. Oleh sebab itu menurutnya sensitivitas konselor terhadap budaya konseli menjadi sangat penting.
Dalam pandangan Rendon (1992) perbedaan budaya bisa terjadi pada ras atau etnik yang sama ataupun berbeda. Oleh sebab itu definisi konseling lintas budaya yang dapat dijadikan rujukan adalah sebagai berikut. Konseling lintas budaya adalah pelbagai hubungan konseling yang melibatkan para peserta yang berbeda etnik atau kelompok-kelompok minoritas; atau hubungan konseling yang melibatkan konselor dan konseli yang secara rasial dan etnik sama, tetapi memiliki perbedaan budaya yang dikarenakan variabel-variabel lain seperti seks, orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik, dan usia (Atkinson, Morten, dan Sue, 1989:37).
Dedi Supriadi (2001:6) mengajukan alternatif untuk keefektifan konseling, setelah mengemukakan definisi konseling lintas budaya. Konseling lintas budaya melibatkan konselor dan konseli yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang responsif secara kultural. Dengan demikian, maka konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor dan klien.
Dalam praktik sehari-hari, konselor pasti akan berhadapan dengan klien yang berbeda latar belakang sosial budayanya. Dengan demikian, tidak akan mungkin disamakan dalam penanganannya (Prayitno, 1994). Perbedaan perbedaan ini memungkinkan terjadinya pertentangan, saling mencurigai, atau perasaan perasaan negatif lainnya. Pertentangan, saling mencurigai atau perasaan yang negatif terhadap mereka yang berlainan budaya sifatnya adalah alamiah atau manusiawi. Sebab, individu akan selalu berusaha untuk bisa mempertahankan atau melestarikan nilai nilai yang selama ini dipegangnya. Jika hal ini muncul dalam pelaksanaan konseling, maka memungkinkan untuk timbul hambatan dalam konseling.
Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling. Sebagai rangkuman dari apa yang telah dijelaskan di atas, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas budaya. Menurut Pedersen (1980) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki tiga elemen yaitu:
1.      konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien;
2.      konselor danklien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalamlatar belakang budaya (tempat) konselor; dan
3.      konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukankonseling di tempat yang berbeda pula.
Lebih lanjut, menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Carter, 1991) dinyatakan bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah:
1.      latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor,
2.      latar belakang budaya yang dimiliki oleh klien,
3.      asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling, dan
4.      nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan.
Adapun faktor faktor lain yang secara signifikan mempengaruhi proses konseling lintas budaya adalah a) keadaan demografi yang meliputi jenis kelamin, umur tem¬pat tinggal, b) variabel status seperti pendidikan, politik dan ekonomi, serta variabel etnografi seperti agama, adat, sistem nilai
B.     Tujuan
Secara umum modul pelatihan ini ditujukan untuk meningkatkan pemahaman, sikap positif, dan keterampilan dasar peserta dalam membantu individu melalui bimbingan dan konseling lintas budaya. Secara khusus, setelah mengikuti pelatihan tentang bimbingan dan konseling lintas budaya, para peserta diharapkan dapat:
1.      Memahami ragam budaya yang dapat mempengaruhi perilaku individu dan kelompok.
2.      Memahami dan menunjukkan sikap penerimaan terhadap perbedaan sudut pandang subjektif antara konselor dengan konseli.
3.      Peka, toleran, dan responsif terhadap perbedaan budaya konseli.
4.      Menerapkan prinsip-prinsip konteks lintas budaya dalam bimbingan dan konseling.
C.    Pendekatan Konseling Lintas Budaya
Sedikitnya ada tiga pendekatan dalam konseling lintas budaya:
1.      pendekatan universal atau etik yang menekankan inklusivitas, komonalitas atau keuniversalan kelompok-kelompok.
2.      pendekatan emik (kekhususanbudaya) yang menyoroti karakteristik-karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan konseling khusus mereka.
3.      pendekatan inklusif atau transcultural, yang terkenal sejak diterbitkan sebuah karya Ardenne dan Mahtani’s (1989) berjudul Transcultural Counseling in Action. Mereka menggunakan istilah trans sebagai lawan dari inter atau cross cultural counseling untuk menekankan bahwa keterlibatan dalam konseling merupakan proses yang aktif dan resiprokal (Palmer and Laugngani, 2008 : 156).
Namun, Fukuyama (1990) yang berpandangan universal pun menegaskan, bahwa pendekatan inklusif disebut pula konseling “transcultural” yang menggunakan pendekatan emik; dikarenakan titik anjak batang tubuh literaturnya menjelaskan karakteristik-karakteristik, nilai-nilai, dan teknik-teknik untuk bekerja dengan populasi spesifik yang memiliki perbedaan budaya dominan.
Pendekatan konseling trancultural mencakup komponen berikut.
1.      Sensitivitas konselor terhadap variasi-variasi dan bias budaya dari pendekatan konseling yang digunakannya.
2.      Pemahaman konselor tentang pengetahuan budaya konselinya.
3.      Kemampuan dan komitmen konselor untuk mengembangkan pendekatan konseling yang merefleksikan kebutuhan budaya konseli.
4.      Kemampuan konselor untuk menghadapi peningkatan kompleksitas lintas budaya.
Asumsi-asumsi yang mendasari pendekatan konseling transcultural sebagai berikut:
1.      Semua kelompok-kelompok budaya memiliki kesamaan kebenaran untuk kepentingan konseling;
2.      Kebanyakan budaya merupakan musuh bagi seseorang dari budaya lain;
3.      Kelas dan jender berinteraksi dengan budaya dan berpengaruh terhadap outcome konseling.
D.    Model Konseling Lintas Budaya
Palmer and Laungani (2008 : 97-109) mengajukan tiga model konseling lintas budaya, yakni (1) culture centred model, (2) integrative model, dan (3) ethnomedical model.
1.      Model Berpusat pada Budaya (Culture Centred Model)
Palmer and Laungani (2008) berpendapat bahwa budaya-budaya barat menekankan individualisme, kognitifisme, bebas, dan materialisme, sedangkan budaya timur menekankan komunalisme, emosionalisme, determinisme, dan spiritualisme. Konsep-konsep ini bersifat kontinum tidak dikhotomus. Pengajuan model berpusat pada budaya didasarkan pada suatu kerangka pikir (framework) korespondensi budaya konselor dan konseli. Diyakini, sering kali terjadi ketidaksejalanan antara asumsi konselor dengan kelompok-kelompok konseli tentang budaya, bahkan dalam budayanya sendiri. Konseli tidak mengerti keyakinan-keyakinan budaya yang fundamental konselornya demikian pula konselor tidak memahami keyakinan-keyakinan budaya konselinya. Atau bahkan keduanya tidak memahami dan tidak mau berbagi keyakinan-keyakinan budaya mereka.
2.      Model Integratif (Integrative Model)
Berdasarkan uji coba model terhadap orang kulit hitan Amerika, Jones (Palmer and Laungani, 2008) merumuskan empat kelas variabel sebagai suatu panduan konseptual dalam konseling model integratif, yakni sebagai berikut :
a.      Reaksi terhadap tekanan-tekanan rasial (reactions to racial oppression).
b.     Pengaruh budaya mayoritas (influence of the majority culture).
c.      Pengaruh budaya tradisional (influence of traditional culture).
d.     Pengalaman dan anugrah individu dan keluarga (individual and family experiences and endowments).
Menurut Jones (Palmer and Laungani, 2008), pada kenyataannya sungguh sulit untuk memisahkan pengaruh semua kelas variabel tersebut. Menurutnya, yang menjadi kunci keberhasilan konseling adalah asesmen yang tepat terhadap pengalaman-pengalaman budaya tradisional sebagai suatu sumber perkembangan pribadi. Budaya tradisional yang dimaksud adalah segala pengalaman yang memfasilitasi individu berkembangan baik secara disadari ataupun tidak. Yang tidak disadari termasuk apa yang diungkapkan Jung (1972) dengan istilah colective uncosious (ketidaksadaran koletif), yakni nilai-nilai budaya yang diturunkan dari generasi ke generasi. Oleh sebab itu kekuatan model konseling ini terletak pada kemampuan mengases nilai-nilai budaya tradisional yang dimiliki individu dari berbagai varibel di atas.
3.      Model Etnomedikal (Ethnomedical Model)
Model etnomedikal pertama kali diajukan oleh Ahmed dan Fraser (1979) yang dalam perkembangannya dilanjutkan oleh Alladin (1993). Model ini merupakan alat konseling transkultural yang berorientasi pada paradigma memfasilitasi dialog terapeutik dan peningkatan sensitivitas transkultural. Pada model ini menempatkan individu dalam konsepsi sakit dalam budaya dengan sembilan model dimensional sebagai kerangka pikirnya.
E.     Wawasan Yang Harus Dimiliki Konselor Lintas Budaya
Sue (Dalam Corey, G. 1997. 37-38) dan kawan-kawan mengusulkan sejumlah kompetensi minimum yang harus dimiliki konselor yang memiliki wawasan lintas budaya, yaitu:
1.      Keyakinan dan sikap konselor yang efektif secara kultural:
a.         Mereka sadar akan sistim nilai, sikap dan bias yang mereka miliki dan sadar batapa ini semua mungkin mempengaruhi klien dari kelompok minoritas
b.        Mereka mau menghargai kebinekaan budaya, mereka merasa tidak terganggu kalau klien mereka adalah berbeda ras dan menganut keyakinan yang berbeda dengan mereka
c.         Mereka percaya bahwa integrasi berbagai sistem nilai dapat memberi sumbangan baik terhadap pertumbuhan terapis maupun klien
d.        Mereka ada kapasitas untuk berbagai pandangan dengan kliennya tentang dunia tanpa menilai pandangan itu sendiri secara kritis
e.         Mereka peka terhadap keadaan (seperti bias personal dan keadaan identitas etnik) yang menuntut adanya acuan klien pada kelompok ras atau budaya masing-masing
2.      Pengetahuan konselor yang efektif secara multikultural:
a.         Mereka mengerti tentang dampak konsep penindasan dan rasial pada profesi kesehatan mental dan pada kehidupan pribadi dan kehidupan profesional mereka
b.        Mereka sadar akan hambatan institutional yang tidak memberi peluang kepada kelompok minoritas untuk memanfaatkan pelayanan psikologi secara penuh di masyarakat
c.         Meraka tahu betapa asumsi nilai dari teori utama konseling mungkin berinteraksi dengan nilai dari kelompok budaya yang berbeda
d.        Mereka sadar akan ciri dasar dari konseling lintas kelas/budaya/ berwawasan budaya dan yang mempengaruhi proses konseling
e.         Mereka sadar akan metoda pemberian bantuan yang khas budaya (indegenous)
f.         Mereka memilki pengetahuan yang khas tentang latar belakang sejarah, tradisi, dan nilai dari kelompok yang ditanganinya.
3.      Keterampilan konselor yang efektif secara kultural
a.         Mereka mampu menggunakan gaya konseling yang luas yang sesuai dengan sistem nilai dari kelompok minoritas yang berbeda
b.        Mereka dapat memodifikasi dan mengadaptasi pendekatan konvensional pada konseling dan psikoterapi untuk bisa mengakomodasi perbedaan-perbedaan kultural
c.         Mereka mampu menyampaikan dan menerima pesan baik verbal maupun non-verbal secara akurat dan sesuai
d.        Mereka mampu melakukan intervensi “di luar dinas” apabila perlu dengan berasumsi pada peranan sebagai konsultan dan agen pembaharuan
Menurut (Supriyatna, 2011: 169) Sedikitnya ada tiga pendekatan dalam konseling lintas budaya, pertama, pendekatan universal atau etik yang menekankan inklusivitas, komonalitas atau keuniversalan kelompok-kelompok. Kedua, pendekatan emik (Kekhususan-budaya) yang menyoroti karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan konseling khusus mereka. Ketiga, pendekatan inklusif atau transcultural. Mereka mengunakan istilah trans sebagai lawan dari inter atau cross cultural counseling untuk menekankan bahwa keterlibatan dalam konseling merupakan proses yang aktif dan resiprokal.
  
KEPUSTAKAAN
Anak Agung Ngurah Adhiputra. 2013. Konsleling Lintas Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Corey, G. 1991. Theory And Practice Of Group Counseling. California. Brooks/Cole Publishing Company.
Dayakisni, Tri & Salis Yuniardi. 2004. Psikologi Lintas Budaya. Malang. Umm Press.
Dedi Supriadi. 2001. Konseling Lintas Budaya: Isu – Isu Dan Relevansinya Di Indonesia. Bandung. UPI.
Fukuyama, M. A. (1990). “Taking A Universal Approach To Multicultural Counseling.” Counselor Education And Supervision, 30, 6-17.
Palmer, Stephen & Laungani, Pittu. (2008). Counseling In A Multicultural Society. London : Sage Publisher.
Supriadi, D. (2001). Konseling Lintas-Budaya: Isu-Isu Dan Relevansinya Di Indonesia. (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Sue, D.W. Dan Sue, D. 2003. Counseling The Culturally Diverse Theory And Practice. New York John Wiley And Sons, Inc.



Selasa, Maret 22

TEORI BELAJAR POPULER

Oleh: Jumadi Tuasikal
 
1.       Quantum Learning
a.      Definisi dan Konsep Quantum Learning
Quantum learning berakar dari upaya Dr. Georgi Lozanov, seorang pendidik berkebangsaan Bulgaria yang bereksperimen dengan apa yang disebutnya sebagai suggestology atau suggestopedia. Prinsipnya adalah bahwa sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detail apapun memberikan sugesti positif ataupun negatif. Beberapa teknik yang digunakannya untuk memberikan sugesti positif adalah mendudukkan murid secara nyaman, memasang musik latar di dalam kelas, meningkatkan partisipasi individu menggunakan poster-poster untuk memberi kesan besar sambil menonjolkan informasi dan menyediakan guru-guru yang terlatih dalam seni pengajaran sugestif.
Adapun pengertian quantum learning menurut Charlotte Shelton (1998 : 1)   menjelaskan tentang pengertian Quantum. Dalam buku tersebut dituliskan sebagai berikut :
        “The word quantum literally means “a quantity of something”, mechanics refers to “the study of motion”. Quantum mechanic is, therefore, the study of sub atomic particles in motion. It is however, erroneous to think of these subatomic particle as quantities of “something”. Subatomic particles are not material things, rather, they are probability tendencies-energy with potentiality. The energy, as the term mechanics implies, is never static. It is always in continous motion, uncceasingly changing from wave to particle and particle to wave, forming the atoms and molecules that subsequently create a material world. It is really quite amazing that those seemingly stable and stationary things we observe in the material world ore composed solely of energy”.
            “Kata quantum dalam literatur berarti banyaknya sesuatu, secara mekanik berarti studi tentang gerakan”. Jadi mekanika kuantum adalah ilmu yang mempelajari tentang partikel-partikel sub atom yang bergerak. Namun demikian kekeliruan berpikir tentang partikel sub atom ini merupakan banyaknya benda. Partikel sub atom bukan merupakan kecenderungan energi dengan potensial. Energi sebagai implikasi dalam istilah mekanika tidak pernah statis. Energi selalu bergerak secara terus menerus, tidak pernah berhenti berubah dari gelombang menjadi partikel dan dari partikel menjadi gelombang, membentuk atom-atom dan molekul yang seterusnya membentuk dunia materi. Ini benar-benar hal yang menakjubkan yang terlihat stabil dan statis, apabila kita cermati ternyata dunia materi ini tersusun energi”.
Istilah lain yang dapat dipertukarkan dengan suggestology adalah pemercepatan belajar (accelerated learning). Pemercepatan belajar ini didefinisikan sebagai memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal, dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang secara sekilas tampak tidak mempunyai persamaan, yaitu: hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran fisik, dan kesehatan emosional. Namun semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman belajar yang efektif. Jadi, dalam Quantum Learning lingkungan belajar harus diciptakan menyenangkan.
Dalam buku The Accelerated Learning Handbook, Dave Meier, yang dikutip oleh Hernowo, menyenangkan atau membuat suasana belajar dalam keadaan gembira bukan berarti menciptakan suasana ribut dan hura-hura. Kegembiraan yang dimaksud adalah bangkitnya minat, adanya keterlibatan penuh, serta terciptanya makna, pemahaman (penguasaan atas materi yang dipelajari), dan nilai yang membahagiakan pada diri siswa. Meier menambahkan pembelajaran yang menyenangkan adalah pembelajaran yang dapat membawa perubahan terhadap diri si pembelajar.
Quantum Learning membahasakan kegembiraan dengan terbangunnya emosi positif, seseorang yang dapat membangun emosi positif di dalam dirinya, tentulah ia akan dapat menghadirkan suasana gembira. Frederickson menyebutkan empat keadaan emosi positif: joy (kegembiraan), interest (ketertarikan), contentment (kepuasaan atau kelegaan), dan love (cinta atau kasih sayang). Bayangkan jika setiap selesai proses belajar mengajar, senantiasa memiliki emosi positif.
Apabila emosi positif terus dibangun, tentulah hal-hal yang berkaitan dengan kehormatan diri dan kepercayaan diri akan semakin meningkat. Dan akhirnya, keberhasilan dalam proses belajar mengajar pun tidak harus dicapai secara 100%. Keberhasilan dapat dicapai di bawah 100% asal kemudian pencapaian itu terus dapat ditingkatkan akibat dari rasa senang yang terus menjalar di dalam diri. Dan proses peningkatan pencapaian kesuksesan dalam belajar atau mengajar hanya dapat tercapai dengan membangun emosi positif.
Roger Speryy, mengatakan bahwa otak memiliki dua belahan, yaitu belahan otak kiri dan belahan otak kanan. Menurutnya, kedua belahan otak tersebut bekerja sangat berbeda. Belahan otak kanan berpikir secara emosional dan belahan otak kiri secara rasional. Quantum learning mencakup aspek-aspek penting dalam program neurolinguistik (NLP), yaitu suatu penelitian tentang bagaimana otak mengatur informasi. Program ini meneliti hubungan antara bahasa dan perilaku dan dapat digunakan untuk menciptakan jalinan pengertian antara siswa dan guru. Para pendidik dengan pengetahuan NLP mengetahui bagaimana menggunakan bahasa yang positif untuk meningkatkan tindakantindakan yang positif (faktor penting untuk merangsang fungsi otak yang paling efektif). Semua ini dapat pula menunjukkan dan menciptakan gaya belajar terbaik dari setiap orang, dan menciptakan ”pegangan” dari saat-saat keberhasilan yang meyakinkan.
Quantum learning didefinisikan sebagai interaksi-interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Semua kehidupan adalah energi. Rumus yang terkenal dalam fisika kuantum adalah massa kali kecepatan cahaya kuadrat sama dengan energi. Bila ditulis dalam rumus adalah E=mc2. Quantum learning merupakan seperangkat metode dan falsafah belajar yang terbukti efektif untuk semua umur. Quantum learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar, dan NLP dengan teori, keyakinan, dan nilai-nilai.
Tubuh secara fisik adalah materi. Sebagai pelajar, tujuannya adalah meraih sebanyak mungkin cahaya interaksi, hubungan, inspirasi agar menghasilan energi cahaya. Quantum Learning adalah seperangkat metode dan falsafah belajar yang terbukti efektif untuk semua umur. Quantum Learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar dan NLP dengan teori, keyakinan dan metode sendiri. Termasuk di antaranya konsep-konsep kunci dari berbagai teori dan strategi belajar yang lain, sepeti: teori otak kanan/otak kiri, teori otak triune (3 in 1), pilihan modalitas (visual, auditorial, kinestetik), teori kecerdasan ganda, pendidikan holistic (menyeluruh), belajar berdasarkan pengalaman, belajar dengan simbol (metaphorik learning), simulasi/permainan.
Menurut De Porter dalam Ary Nilandari (2000:6)  Quantum teaching bersandar pada konsep “Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita, dan Antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka”. Ini adalah Asas Utama sebagai alasan dasar di balik strategi, model, dan keyakinan Quantum Teaching. Maksudnya untuk mendapatkan hak mengajar, seorang guru harus membuat jembatan autentik memasuki kehidupan murid sebagai langkah pertama. Setelah kaitan itu terbentuk bawalah mereka ke dunia kita sehingga siswa dapat membawa apa yang dipelajari ke dalam dunianya dan menerapkannya pada situasi baru.
Untuk melaksanakan/praktek pembelajaran Metode Quantum Learning adalah menggunakan Model Quantum Teaching. Quantum  Teaching adalah orkestrasi bermacam-macam interaksi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar. Interaksi-interaksi itu mencakup unsur-unsur untuk belajar efektif yang mempengaruhi kesuksesan siswa. Interaksi-interaksi ini mengubah kemampuan dan bakat alamiah siswa menjadi cahaya yang akan bermanfaat bagi mereka sendiri dan bagi orang lain. (De Porter, 1999 : 5).
Quantum Teaching juga memiliki 5 prinsip, atau kebenaran tetap. Serupa dengan Asas Utama “Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita, dan Antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka.” Prinsip-prinsip ini mempengaruhi seluruh aspek Quantum Teaching. Prinsip-prinsip tersebut adalah (1) segalanya berbicara, (2) Segalanya bertujuan, (3) pengalaman sebelum memberi nama, (4) akui setiap usaha, (5) jika layak dipelajari, maka layak pula dirayakan. Dalam proses pembelajaran unsur-unsur yang terdiri dari suasana, lingkungan, landasan, rancangan, penyajian dan fasilitasi disusun sedemikian rupa sehingga dapat menciptakan kesuksesan belajar siswa.

  1. Paradigma Quantum Learning
Dalam belajar model Quantum Learning agar dapat berjalan dengan benar ini paradigma yang harus dianut oleh siswa dan guru adalah sebagai berikut :
1.      Setiap orang adalah guru dan sekaligus murid sehingga bisa saling berfungsi sebagai fasilitator.
2.      Bagi kebanyakan orang belajar akan sangat efektif jika dilakukan dalam suasana yang menyenangkan, lingkungan dan suasana yang tidak terlalu formal, penataan duduk setengah melingkar tanpa meja, penataan sinar atau cahaya yang baik sehingga peserta merasa santai dan rileks.
3.      Setiap orang mempunyai gaya belajar, bekerja dan berpikir yang unik dan berbeda yang merupakan pembawaan alamiah sehingga kita tidak perlu merubahnya dengan demikian perasaan nyaman dan positif akan terbentuk dalam menerima informasi atau materi yang diberikan oleh fasilitator.
4.      Modul pelajaran tidak harus rumit tapi harus dapat disajikan dalam bentuk sederhana dan lebih banyak ke suatu kasus nyata atau aplikasi langsung.
5.      Dalam menyerap dan mengolah informasi otak menguraikan dalam bentuk simbol atau asosiatip sehingga materi akan lebih mudah dicerna bila lebih banyak disajikan dalarn bentuk gambar, diagram, flow atau simbol.
6.      Kunci menuju kesuksesan model quantum learning adalah latar belakang (background) musik klasik atau instrumental yang telah terbukti memberikan pengaruh positif dalam proses pembelajaran. Musik klasik dari Mozart, bach, Bethoven, dan Vivaldi dapat meningkatkan kemampuan mengingat, mengurangi stress, meredakan ketegangan, meingkatkan energi dan membesarkan daya ingat. Musik menjadikan orang lebih cerdas (Jeannete Vos).
7.      Penggunaan Warna dalam model quantum learning dapat meningkatkan daya tangkap dan ingat sebanyak 78%.
8.      Metode peran di mana peserta berperan lebih aktif dalam membahas materi sesuai dengan pengalamannya melalui pendekatan terbalik yaitu membuat belajar serupa bekerja (pembelajaran orang dewasa).
9.      Sistem penilaian yang disarankan untuk abad 21 dalam pembelajaran adalah 50% penilaian diri sendiri, 30% penilaian teman, 20% penilaian trainer atau atasan (Jeannette Vos)
10.  Umpan balik yang positif akan mampu memotivasi anak untuk berprestasi namun umpan balik negative akan membuat anak menjadi frustasi. Ini berdasar hasil riset pakar masalah kepercayaan diri, Jack Carfiled pada tahun 1982. 100 anak ditunjuk oleh periset selama sehari. Hasilnya, bahwa setiap anak rata-rata menerima 460 komentar negative dan hanya 75 komentar positif.
  1. Metoda Quantum Learning
Dalam proses pembelajaran unsur-unsur yang terdiri dari suasana, lingkungan, landasan, rancangan, penyajian dan fasilitasi disusun sedemikian rupa sehingga dapat menciptakan kesuksesan belajar siswa. Konteks menata panggung belajar mempunyai empat aspek yaitu :
1.      Suasana
Suasana kelas mencakup bahasan yang dipilih, cara menjalin simpati dengan siswa, dan sikap guru terhadap sekolah serta belajar. Suasana yang penuh kegembiraan, akan membawa kegembiraan pula dalam belajar.
2.      Landasan.
Kerangka kerja yaitu tujuan, keyakinan, kesepakatan, kebijakan, prosedur, dan aturan bersama yang memberi guru dan siswa sebuah pedoman untuk bekerja dalam komunitas belajar.
3.      Lingkungan
Adalah cara guru menata ruang kelas meliputi pencahayaan, warna, pengaturan meja dan kursi, tanaman, musik, dan semua hal yang mendukung proses belajar.
4.      Rancangan.
Penciptaan terarah unsur-unsur penting yang dapat menumbuhkan minat siswa, mendalami makna, dan memperbaiki proses tukar-menukar informasi.
Metode yang diterapkan dalam quantum learning antara lain:
a)      Menata Pentas, yaitu lingkungan belajar yang tepat
Ciptakan lingkungan yang optimal, baik secara fisik maupun mental. Bagi quantum, faktor-faktor lingkungan sama dengan penataan yang dilakukan oleh kru panggung. Cara menata perabotan, musik yang dipasang, penataan cahaya, dan lain-lain. Jika ditata dengan baik, lingkungan belajar dapat menjadi sarana yang bernilai dalam membangun dan mempertahankan sikap positif. Dengan mengatur lingkungan belajar, hal itu merupakan langkah pertama yang efektif untuk mengatur pengalaman belajar secara keseluruhan. Untuk menata atau mengatur lingkungan belajar yang ideal, antara lain:
                                                        i.            Lingkungan mikro: tempat untuk bekerja atau berkreasi. Dalam hal ini, pendidik akan belajar tentang cara menerima, menyerap, dan mengolah informasi yaitu gaya belajar setiap orang. Hal lain dari gaya belajar ini adalah bagaimana cahaya, musik, dan desain ruangan mempengaruhi proses belajar. Tujuannya adalah untuk menciptakan suasana yang menimbulkan kenyamanan dan rasa santai karena dalam keadaan santai inilah setiap orang dapat berkonsentrasi dengan sangat baik dan mampu belajar dengan sangat mudah. Iringan musik: kunci menuju Quantum Learning. Alasan kenapa musik sangat penting untuk lingkungan Quantum Learning adalah karena musik sebenarnya berhubungan dan mempengaruhi kondisi fisiologis seseorang. Ikuti tanda-tanda positif: “Pemacu Semangat”, sertifikat dan penghargaan yang telah diterima, dukungan “Saat Puncak”, catatan, hadiah, kartu penghargaan diri, dll. Kalimat-kalimat positif yang tergantung di dinding menjadi pengingat abadi akan potensi dan kelebihan. Contoh: “Apa pun yang dapat dilakukan atau ingin dilakukan, mulailah. Keberanian memiliki kecerdasan, kekuatan, dan keajaiban di dalamnya.”
                                                      ii.            Lingkunagn makro: dunia yang luas. Maksudnya, ketika kita telah memiliki lingkungan belajar yang nyaman, maka kita telah memiliki lingkar yang kuat dalam memperluas zona belajar menuju lingkungan makro/dunia luar.
b)      Memupuk sikap juara: apa yang akan Anda lakukan jika Anda tahu Anda tak mungkin gagal? Berpikir seperti seorang juara membuat seseorang menjadi juara. Itulah pentingnya mengetahuai bagaimana memupuk sikap juara. Sikap positf seperti itulah yang merupakan aset terpenting dalam proses belajar. Pastikan untuk mempunyai sikap positif, dan segalanya akan segera berubah.
c)      Menemukan gaya belajar
Cara belajar Anda adalah kombinasi dari bagaimana Anda menyerap,lalu mengatur, dan mengolah informasi.
d)     Teknik mencatat
Kiat-kiat membuat catatan:
                                                        i.            Mendengarkan dengan seksama/aktif.
                                                      ii.            Memperhatikan secara aktif.
                                                    iii.            Partisipasi
                                                    iv.            Tinjauan awal
                                                      v.            Membuat yang auditorial menjadi visual
                                                    vi.            Membuat pengulangan itu mudah
                                                  vii.            Menggunakan peta pikiran juga bisa digunakan dalam teknik mencatat. Manfaat yang dari peta pikiran ini adalah: fleksibel, dapat memusatkan perhatian, meningkatkan pemahaman dan menyenangkan.

  1. Kunci Quantum Learning
Model Quantum Teaching hampir sama dengan sebuah simfoni, yaitu ada banyak unsur yang menjadi faktor pengalaman musik. Unsur-unsur itu dibagi menjadi dua kategori yaitu konteks dan isi. (De Porter 2000 : 8). Konteks adalah latar untuk pengalaman. Konteks merupakan keakraban ruang orkestra itu sendiri (lingkungan), semangat konduktor dan para pemain musiknya (suasana), keseimbangan instrument  dan musisi dalam bekerja sama (landasan), dan ineterpretasi sang maestro terhadap lembaran musik (rancangan). Unsur-unsur itu berpadu dan menciptakan pengalaman musik. Sedangkan isi adalah bentuk penyajian. Anggapan bahwa lembaran musik itu sendiri sebagai isi-isi, not-not nyata pada sebuah halaman, yang lebih dari sekedar not-not pada sebuah halaman. Salah satu unsur isi adalah bagaimana tiap frase musik dimainkan. Isi juga meliputi fasilitasi ahli sang maestro terhadap orkestra, memanfaatkan bakat setiap pemain musik dan potensi setiap instrumen.
Alasan mengapa musik sangat penting untuk lingkungan quantum learning karena musik sebenarnya berhubungan untuk mempengaruhi kondisi fisiologi kita. Selama melakukan pekerjaan mental yang berat tekanan darah dan denyut jantung kita cenderung meningkat, otot-otot menjadi tegang. Selama relaksasi dan meditasi denyut jantung dan tekanan darah menurun dan otot-otot mengendur, maka kita dengan mudah berkonsentrasi.
Ada teori yang mengatakan bahwa dalam situasi otak kiri sedang bekerja seperti mempelajari materi baru, musik akan membangkitkan reaksi otak kanan yang intiltif dan kreatif sehingga masuknya dapat dipadukan dengan keseluruhan proses. Otak kanan akan cenderung terganggu ketika bekerja di kantor, atau kuliah yang menyebabkan kadang melamun, memang musik adalah cara efektif untuk menyibukkan otak kanan ketika sedang berkonsentrasi pada ativitas otak kiri.
Minat seseorang timbul tidak secara tiba-tiba/spontan, melainkan timbul akibat dari partisipasi, pengalaman, kebiasaan pada waktu belajar atau bekerja. (Sairan, 2003 : 16). Oleh sebab itu, minat akan selalu berkaitan dengan kebutuhan atau keinginan. Dalam pembelajaran model Quantum Teaching yang penting adalah bagaimana menciptakan kondisi tertentu agar siswa itu selalu butuh dan ingin terus belajar.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sairan (2003 : 19), bahwa penerapan prinsip pembelajaran Quantum Teaching dapat meningkatkan minat belajar siswa, meningkatkan ketuntasan belajar siswa, dan menjadikan suasana kelas belajar lebih menarik dan menyenangkan.

TEORI PERKEMBANGAN KARIR: KRUMBOLTZ SERTA APLIKASINYA

Jumadi Mori Salam Tuasikal, M.Pd A.    Konsep Dasar             Jika kita bicara mengenai bimbingan karir melalui pendekatan pemilihan...