Oleh: Jumadi Tuasikal
A.
KONSEP AKUNTABILITAS DAN
PENGAWASAN
1.
Konsep
Akuntabilitas
Akuntabilitas
berasal dari bahasa inggris “ Accountability “ artinya keadaan untuk
dipertanggungjawabkan. Menurut prayitno Akuntabilitas disebut juga unjuk kerja,
kemudian Gibson & Mitchell mendefenisikan “akuntabilitas sebagai
pertanggungjawaban untuk sesuatu kepada seseorang dengan konsekwensi yang dapat
diramalkan demi kinerja yang dikehendaki dan dapat dipahami dari apa yang
dipertanggung jawabkan itu”.
Konsep
dasar akuntabilitas didasarkan pada klasifikasi responsibilitas menejerial pada
tiap tingkatan dalam suatu organisasi, yang bertujuan untuk pelaksanaan
kegiatan pada tiap bagian. Tiap unit pada suatu organisasi, walaupun yang kecil
sekalipun bertanggungjawab atas setiap kegiatan yang di laksanakan pada
bagiannya. Mereka mempunyai beban tugas kegiatan tertentu dan perlu mempertanggung
jawabkan kepada pemberi tugas kegiatan tersebut. Akuntabilitas tidak sama
dengan responsibilitas. Akuntabilitas lebih mengacu pada pertanggungjawaban
keberhasilan atau kegagalan pencapaian organisasi sedangkan berhubungan
kewajiban melaksanakan wewenang atau amanah yang diterima. Akuntabilitas
mempertanggungjawabkan pelaksanaan wewenang atau amanah tersebut.
Bila
dikaitkan dengan profesi BK, maka akuntabilitas BK dapat diartikan sebagai
suatu perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau
kegagalan pelaksanaan misi BK dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah
ditetapkan. Oleh karena itu, akuntabilitas BK harus disampaikan dihadapan
pemberi wewenang tugas/amanah tentang keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan
program, manajemen, kekurangan dan administrtif dalam jangka waktu tertentu.
Akuntabilitas dalam bimbingan dan
konseling adalah perwujudan kewajiban konselor/guru BK/guru pembimbing atau
unit organisasi (bimbingan dan konseling) untuk mempertanggungjawabkan
pengelolaan sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya
dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui media
pertanggungjawaban berupa laporan akuntabilitas kinerja secara periodik.
Dalam hal ini konselor/guru BK/guru pembimbing berkewajiban untuk
menjawab dan menjelaskan kinerja dari tindakannya atau badan yang membawahinya
kepada pihak-pihak yang memiliki hak untuk meminta jawaban atas kewenangan yang
telah diberikan untuk mengelola sumber daya tertentu.
Sumber daya yang dimaksud di atas adalah
terfokus kepada prestasi akademik, perkembangan pribadi/sosial, dan karir
klien. Prinsip ini mengandung arti bahwa rumusan perilaku yang hendak dicapai,
sistem intervensi psikoedukatif dan assessment merupakan komponen yang terkait
dalam akuntabilitas bimbingan dan konseling (Sunaryo Kartadinata, 2004).
2. Konsep
Pengawasan
Pengawasan dapat diartikan sebagai
proses kegiatan monitoring untuk meyakinkan bahwa semua kegiatan organisasi
terlaksana seperti yang direncanakan dan sekaligus juga merupakan kegiatan
untuk mengoreksi dan memperbaiki bila ditemukan adanya penyimpangan yang akan
mengganggu pencapaian tujuan.
Kegiatan
pengawasan adalah kegiatan Pengawas Satuan Pendidikan dalam
melaksanakan penyusunan program pengawasan satuan pendidikan, pelaksanaan
pembinaan akademik dan administrasi, pemantauan delapan standar nasional
pendidikan, penilaian administrasi dan akademik, dan pelaporan pelaksanaan
program pengawasan (Depdiknas, 2009: 70).
B. STAKEHOLDERS BIMBINGAN DAN KONSELING
Istilah stakeholders sudah sangat populer.
Kata ini telah dipakai oleh banyak pihak dan hubungannnya dengan berbagi ilmu atau konteks, misalnya manajemen bisnis,
ilmu komunikasi, pengelolaan sumberdaya alam, sosiologi, dan lain-lain. Lembaga-lembaga
publik telah menggunakan secara luas istilah stakeholder ini ke dalam
proses-proses pengambilan dan implementasi keputusan. Secara sederhana,
stakeholder sering dinyatakan sebagai para pihak, lintas pelaku, atau
pihak-pihak yang terkait dengan suatu isu atau suatu rencana.
Dari pengertian
tersebut dapatlah dipahami bahwa dalam konteks dunia pendidikan dan lebih
khusus lagi bimbingan dan konseling stakeholders yang dimaksud adalah :
1. Siswa
2. Orangtua
3. Kepala Sekolah
4. Guru
5. Konselor
6. Personil Sekolah
7. Pemerintah
8. Masyarakat.
Keseluruhan
komponen stakeholders di ataslah yang secara langsung terlibat dan terkait
dalam rangka penyelenggaraan program bimbingan dan konseling. Masing-masing
komponen tersebut memiliki tugas pokok dan fungsi yang berbeda-beda yang
kesemuannya menjadi satu kesatuan yang utuh.
C.
SYARAT AKUNTABILITAS
DAN PENGAWASAN
Menurut
A.Yusuf (2002), manajemen dalam suatu organisasi akan dikatakan akuntabel
apabila kegiatan pelaksanaanya telah:
1.
Menentukan tujuan yang tepat
2.
Mengembangkan standar yang dibutuhkan
untuk pencapai tujuan tersebut
3.
Cara efektif mempromosikan penerapan
pemakaian standar
4.
Mengembangkan standar organisasi dan
operasi secara efektif, ekonomis dan efisien.
Untuk
menjamin terciptanya akuntabilitas dan pengawasan yang baik, maka dalam
akuntabilitas itu sendiri wajib memiliki:
1. Kemampuan menjawab yaitu (istilah
yang bermula dari responsibilitas)
adalah berhubungan dengan tuntutan bagi para konselor/guru BK/guru pembimbing
untuk menjawab secara periodik setiap pertanyaan-pertanyaan.
2. Konsekuensi yaitu public/klien mempunyai hak untuk
mengetahui kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pihak yang mereka (klien) beri
kepercayaan (konselor) tentang program pelayanan, metode assessment, penilaian,
penggunaan data (using data)
dan tindak lanjut layanan yang telah diberikan kepadanya. Kedua hal tersebut di
atas adalah ide pokok dalam membangun public trust.
D.
BENTUK AKUNTABILITAS
Akuntabilitas dibedakan menjadi beberapa tipe/bentuk,
diantaranya jenis akuntabilitas dikategorikan menjadi dua bentuk yaitu :
a) Akuntabilitas
Internal
Berlaku bagi setiap tingkatan organisasi/kelembagaan/satuan pendidikan
internal penyelenggaraan pemerintahan negara termasuk pemerintah itu sendiri dimana
setiap pemegang mandat (dalam hal ini termasuk konselor/guru BK/guru
pembimbing) baik individu maupun kelompok secara hierarki berkewajiban untuk
mempertang-gungjawabkan kepada atasannya langsung mengenai perkembangan kinerja
kegiatannya secara periodik maupun sewaktu-waktu bila dipandang perlu.
b) Akuntabilitas
Eksternal.
Melekat pada setiap lembaga negara sebagai suatu organisasi/kelembagaan untuk mempertanggungjawabkan semua amanat yang
telah diterima dan dilaksanakan ataupun perkembangannya untuk dikomunikasikan
kepada pihak eksternal lingkungannya. Dalam hal pengkomunikasian dan
pengungkapan laporan pelayanan maka jenis pengungkapan yang cukup (adequate) adalah yang paling umum digunakan, tetapi ini
mengandung suatu pengertian adanya keterbatasan dalam penyajian informasi
karena menurut prinsip adequate
disclosure ini, informasi bisa disajikan seminimum mungkin asal
cukup sehingga asas kerahasiaan klien tetap terjaga dengan baik.
c) Akuntabilitas
Spiritual
Akuntabilitas yang demikian ini meliputi pertanggungjawaban diri sendiri
mengenai segala sesuatu yang dijalankannya yang hanya diketahui dan dipahami
oleh dia sendiri.Oleh karena itu, akuntabilitas ini disebut juga sebagai akuntabilitas spiritual. Semua
tindakan akuntabilitas spiritual didasarkan pada hubungan seseorang tersebut
dengan Tuhan. Namun, apabila benar-benar dilaksanakan dengan penuh iman dan
takwa, kesadaran akan akuntabilitas spiritual ini akan memberikan pengaruh yang
sangat besar pada pencapaian kinerja orang tersebut. Itulah sebabnya mengapa seseorang
dapat melaksanakan pekerjaan dengan hasil yang berbeda dengan orang lain, atau
mengapa suatu instansi dengan instansi yang lainnya dapat menghasilkan
kuantitas dan kualitas yang berbeda terhadap suatu pekerjaan yang sama.
E.
KRITERIA AKUNTABILITAS
Kriteria adalah
ukuran yang menjadi dasar penilaian atau penetapan sesuatu. Krumboltz,
1974 (dalam Gibson & Mitchell, 1981) mengidentifikasi tujuh kriteria yang
harus dipenuhi jika sistem akuntabilitas adalah untuk mencapai hasil yang
diinginkan. Hal
tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Dalam rangka untuk menentukan
domain tanggung jawab konselor, tujuan umum konseling harus disetujui oleh
semua pihak.
b.
Prestasi konselor harus dinyatakan
dalam hal penting yaitu perubahan perilaku yang diamati dan dirasakan oleh
klien.
c.
Kegiatan konselor
harus dinyatakan sebagai biaya, bukan prestasi.
d.
Sistem akuntabilitas
harus dibangun untuk mempromosikan pelayanan yang efektif profesional dan pengembangan diri, bukan untuk melemparkan dan menyalahkan
atau menghukum kinerja yang buruk.
e.
Dalam rangka mempromosikan
pelaporan yang akurat, laporan kegagalan dan hasil yang tidak diketahui harus
diizinkan dan tidak pernah dihukum.
f.
Semua pengguna dari sistem
akuntabilitas harus terwakili dalam perancangan.
g.
Sistemakuntabilitas itu sendiri harus dilakukan evaluasi dan modifikasi.
Pemerintah
menyusun alat ukur untuk mengukur kinerja pelayanan publik secara eksternal melalui Keputusan Menpan No.
25/KEP/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat
Unit Pelayanan Instansi Pemerintah, yang di dalamnya terdapat 14 indikator
kriteria pengukuran kinerja organisasi/kelembagaan sebagai berikut:
1. Prosedur
pelayanan, yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat
dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan.
2. Persyaratan
pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan untuk
mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya.
3. Kejelasan
petugas pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang memberikan
pelayanan (nama, jabatan serta kewenangan dan tanggungjawabnya).
4. Kedisiplinan
petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan pelayanan,
terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang berlaku.
5. Tanggung
jawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan tanggung jawab petugas
dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan.
6. Kemampuan
petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan ketrampilan yang dimiliki petugas
dalam memberikan/menyelesaikan pelayanan kepadamasyarakat.
7. Kecepatan
pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu yang
telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan.
8. Keadilan
mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak membedakan
golongan/status masyarakat yang dilayani.
9. Kesopanan
dan keramahan petugas, yaitu sikap dan perilaku petugas dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling menghargai dan
menghormati.
10. Kewajaran
biaya pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya biaya yang
ditetapkan oleh unit pelayanan.
11. Kepastian
biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan biaya
yang telah ditetapkan.
12. Kepastian
jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan sesuai dengan ketentuan
yang telah ditetapkan.
13. Kenyamanan
lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang bersih, rapi, dan
teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman kepada penerima pelayanan.
14. Keamanan
pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit penyelenggara
pelayanan ataupun sarana yang digunakan sehingga masyarakat merasa tenang untuk
mendapatkan pelayanan terhadap resiko-resiko yang diakibatkan dari pelaksanaan
pelayanan.
Keempat belas indikator di atas menurut penyusun sangat cocok dan
memiliki relevansi dalam pelayanan bimbingan dan konseling setting apapun.
F. FAKTOR
PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT PELAKSANAAN BIMBINGAN DAN KONSELING
1.
Faktor Pendukung.
Kepemimpinan
yang memberi teladan, Mendiskusikan program-program yang akan dilaksanakan
dengan benar dan tuntas. Sehinggadapat ditentukan dengan jelas apa tujuan yang
akan dicapai dan apa pula indikator kinerjanya.
a)
Ciptakan koordinasi yang baik inter dan
antar unit terkait.
b)
Rumuskan standar kerja yang jelas.
c)
Komunikasikan pada semua pihak tujuan
dan makna akuntabilitas.
2.
Faktor Penghambat
Kegagalan
implementasi akuntabilitas banyak ditentukan oleh :
a)
Rendahnya kesadaran tentang
akuntabilitas.
b)
Kurangnya kemauan untuk menerapkan
akuntabilitas.
c)
Penurunan nilai-nilai normal.
d)
Faktor budaya.
e)
Rendahnya kualitas petugas/pejabat.
f)
Krisis lingkungan.
g)
Kelemahan hukum tentang akuntabilitas.
h)
Usangnya teknologi. Rendahnya standar
hidup masyarakat
Lebih jauh lagi dalam
implementasinya apa yang menjadi konsep dan dituangkan dalam sebuah program
tidak mudah dalam menjalanknnya banyak sekali faktor-faktor yag patut kita
pertimbangkan dan apabila kita lupakan justru inilah yang menjadi faktor
penghambat pelaksanaan program bimbingan konseling. Diantara faktor-faktor yang
cukup banyak itu, pemakalah mencoba mengidentifikasinya sehingga menjadi
beberapa poin yang sangat mendasar, antara lain:
a)
Kurangnya
kerjasama antar personil pelaksana program dalam hal ini konselor, pimpinan,
instasi penyelenggara dan pemerintah.
b)
Kurangnya
pemahaman dan pengetahuan pendidik dan tenaga kependidikan serta yang paling
utama adalah konselor terhadap ketentuan atau perundang-undangan yang secara
spesifik mengatur pelaksanaan program.
c)
Tidak
adanya konsistensi dalam menjalankan program yang telah ditetapkan dari para
personil pelaksana program dan pengawas.
Ketiga
poin diatas inilah yang sebenarnya menjadi penghambat dalam pelaksanaan
bimbingan dan konseling di sekolah yang muaranya tidak tercapainya unjuk kerja
yang efektif dan efisien.
G. IMPLIKASI
PELAKSANAAN AKUNTABILITAS DAN PENGAWASAN
Pelaksanaan
akuntabilitas dan pengawasan yang baik akan menciptakan implikasi yang positif
berkenaan dengan konselor (sebagai orang yang menjadi penyelenggara layanan)
dan kelembagaan (tempat konselor bekerja). Hal itu tercermin dalam penatalaksanaan
organisasi dan manajemen yang lebih sehat dan kompetitif.
Akuntabilitas berarti bahwa konselor sekolah dapat mempertangg-ungjawabkan
dokumen pekerjaan yang dilakukannya bagi para mitra dalam proses pendidikan siswa,
orang tua dan pengasuh, rekan-rekan di sekolah, dan rekan di masyarakat. konselor sekolah tidak dipilih dalam panggilan untuk
data-driven pelaporan diri, melainkan adalah kesempatan bagi konselor sekolah
untuk memberikan bukti nyata dari
kualitas mereka bekerja (Dollarhide & Sadinak, 2008).
Krumboltz (1974) juga mencatat bahwa kemampuan melakukan
akuntabilitas menjamin upaya konselor untuk membangun sistem akuntabilitas yang
memiliki kontribusi untuk diri mereka sendiri. Sebuah sistem akuntabilitas akan
memungkinkan konselor untuk:
a. Mendapatkan umpan balik tentang hasil kerja mereka.
b. Metode konseling dapat dipilih berdasarkan keberhasilan yang
telah ditunjukkan.
c. Melakukan identifikasi klien yang selama ini kebutuhannya
belum terpenuhi.
d. Merancang metode yang singkat untuk operasional kegiatan
rutin.
e. Melakukan tukar pendapat dengan staf untuk meningkatkan
pencapaian tujuan dan mencari solusi terhadap masalah-masalah yang berkembang (Gibson & Mitchell, 1981).
Lebih lanjut Gibson & Mitchell, 1981, mengungkapkan bahwa dengan melaksanakan akuntabilitas, konselor belajar bagaimana untuk membantu klien lebih efektif dan efisien, konselor akan mendapatkan:
a. Banyak
masalah yang penyelesaiannya dilakukan berdasarkan kecakapan/kompetensi yang mendorong adanya pengakuan dari
penerima layanan;
b. Meningkatnya dukungan keuangan;
c. Lebih baik dalam hubungan kerja dengan profesional lainnya;
d. Diakui
berdiri professional;
e. Tingkat kepuasan terhadap layanan terus-menerus dilakukan yang diarahkan kepada
sasaran perbaikan (baik program maupun implementasinya) dan adanya penghargaan
yang lebih mantap.
H.
MASALAH DAN SOLUSI
1.
Masalah
a)
Masih ada kekurangan perencanaan waktu
untuk melakukan assessment, yang telah
diprogramkan.
b)
Kurangnyanya partisipasi konselor dalam
membuat laopran dan penilaian serta
mencari data untuk pengembangan perencanaan assessment
2. Solusi
Konselor
harus cepat sigap dalam melakukan assessment dan mengatur jadwal sesuai dengan
program yang telah dibuat, sehingga laporan dan penilaian dapat terlaksana
sesuai dengan program yang ada dan dapat berkembang sesuai kebutuhannya.
DAFTAR RUJUKAN
A.
Muri Yusuf. (2002). Seminar Sehari Akuntabilitas Pelayanan Bimbingan dan Konseling.
Padang: Jurusan BK, FIP. UNP
Depdiknas. 2009. Bahan Belajar Mandiri Kelompok Kerja Pengawas Sekolah Dimensi Kompetensi Supervisi Manajerial.
Dirjen PMPTK: Jakarta.
Dollarhide,
Collete T., Sadinak, Kelli A. 2008. Comprehensive
School Counseling Programs: K-12 Delivery System. New York: Pearson
Gibson,
Robert L & Mitchell, Marianne H. 1981.Introduction
to Counseling and Guidance. Second Edition. New York: Mc Millan Publishing.
Kartadinata,
Sunaryo. 2004. Arah dan Tantangan
Bimbingan dan Konseling Profesional: Proposisi Historik-Futuristik. Bandung:
UPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar